Abu Isa Muhammad bin Isa
bin Surah At Turmudzi (lebih dikenal
sebagai Imam Turmudzi/ At Turmudzi/ At Tirmidzi)
adalah seorang ahli hadits. Ia pernah belajar hadits dari Imam Bukhari. Ia
menyusun kitab Sunan At Turmudzi dan Al Ilal. Ia
mengatakan bahwa dia sudah pernah menunjukkan kitab Sunannya kepada ulama ulama
Hijaz, Irak dan Khurasan dan mereka semuanya setuju dengan isi kitab itu.
Karyanya yang mashyur yaitu Kitab Al-Jami’ (Jami’ At-Tirmizi). Ia juga
tergolonga salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang
Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal.
Al Hakim mengatakan
"Saya pernah mendengar Umar bin Alak mengomentari pribadi At Turmudzi
sebagai berikut; kematian Imam Bukhari tidak meninggalkan muridnya yang lebih
pandai di Khurasan selain daripada Abu 'Isa At Turmudzi dalam hal luas ilmunya
dan hafalannya."
BIOGRAFI
NAMA DAN KELAHIRANNYA
Imam al-Hafizh Abu Isa
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin ad-Dahhak as-Sulami at-Tirmizi, salah seorang ahli hadits kenamaan, dan
pengarang berbagai kitab yang masyhur, lahir di kota Tirmiz.
PERKEMBANGAN DAN
PERLAWATANNYA
Kakek Abu ‘Isa
at-Tirmizi berkebangsaan Mirwaz, kemudian pindah ke Tirmiz dan menetap di sana.
Di kota inilah cucunya bernama Abu ‘Isa dilahirkan. Semenjak kecilnya Abu ‘Isa
sudah gemar mempelajari ilmu dan mencari hadits. Untuk keperluan inilah ia
mengembara ke berbagai negeri: Hijaz, Irak, Khurasan dan lain-lain. Dalam
perlawatannya itu ia banyak mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru hadits
untuk mendengar hadits yang kem dihafal dan dicatatnya dengan baik di
perjalanan atau ketika tiba di suatu tempat. Ia tidak pernah menyia-nyiakan
kesempatan tanpa menggunakannya dengan seorang guru di perjalanan menuju
Makkah. Kisah ini akan diuraikan lebih lanjut.
WAFAT
Setelah menjalani
perjalanan panjang untuk belajar, mencatat, berdiskusi dan tukar pikiran serta
mengarang, ia pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa
tahun lamanya ia hidup sebagai tuna netra; dalam keadaan seperti inilah
akhirnya at-Tirmizi meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada malam Senin 13
Rajab tahun 279 H (8 Oktober 892) dalam usia 70 tahun.
KEILMUAN
GURU GURUNYA
Ia belajar dan
meriwayatkan hadits dari ulama-ulama kenamaan. Di antaranya adalah Imam
Bukhari, kepadanya ia mempelajari hadits dan fiqh. Juga ia belajar kepada Imam
Muslim dan Abu Dawud. Bahkan Tirmizi belajar pula hadits dari sebagian guru
mereka.
Guru lainnya ialah
Qutaibah bin Saudi Arabia’id, Ishaq bin Musa, Mahmud bin Gailan. Said bin
‘Abdur Rahman, Muhammad bin Basysyar, ‘Ali bin Hajar, Ahmad bin Muni’, Muhammad
bin al-Musanna dan lain-lain.
MURID MURIDNYA
Hadits-hadits dan
ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama. Di antaranya ialah
Makhul ibnul-Fadl, Muhammad binMahmud ‘Anbar, Hammad bin Syakir, ‘Ai-bd bin
Muhammad an-Nasfiyyun, al-Haisam bin Kulaib asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf
an-Nasafi, Abul-‘Abbas Muhammad bin Mahbud al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab
Al-Jami’ daripadanya, dan lain-lain.
KEKUATAN HAFALANNYA
Abu ‘Isa aat-Tirmizi
diakui oleh para ulama keahliannya dalam hadits, kesalehan dan ketakwaannya. Ia
terkenal pula sebagai seorang yang dapat dipercaya, amanah dan sangat teliti.
Salah satu bukti kekuatan dan cepat hafalannya ialah kisah berikut yang
dikemukakan oleh al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib at-Tahzib-nya, dari Ahmad bin
‘Abdullah bin Abu Dawud, yang berkata:
"Saya mendengar Abu
‘Isa at-Tirmizi berkata: Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Makkah, dan
ketika itu saya telah menuslis dua jilid berisi hadits-hadits yang berasal dari
seorang guru. Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai
dia, mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Saya mengira bahwa "dua jilid kitab" itu ada padaku.
Ternyata yang kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang
mirip dengannya. Ketika saya telah bertemu dengan dia, saya memohon kepadanya
untuk mendengar hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia
membacakan hadits yang dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri
pandang dan melihat bahwa kertas yang kupegang masih putih bersih tanpa ada
tulisan sesuatu apa pun. Demi melihat kenyataan ini, ia berkata: ‘Tidakkah
engkau malu kepadaku?’ lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa
yang ia bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ suruhnya. Lalu aku
pun membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi: ‘Apakah telah
engkau hafalkan sebelum datang kepadaku?’ ‘Tidak,’ jawabku. Kemudian saya
meminta lagi agar dia meriwayatkan hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan
empat puluh buah hadits yang tergolong hadits-hadits yang sulit atau garib,
lalu berkata: ‘Coba ulangi apa yang kubacakan tadi,’ Lalu aku membacakannya
dari pertama sampai selesai; dan ia berkomentar: ‘Aku belum pernah melihat
orang seperti engkau."
PANDANGAN PARA KRITIKUS
HADIST
Para ulama besar telah
memuji dan menyanjungnya, dan mengakui akan kemuliaan dan keilmuannya. Al-Hafiz
Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kritikus hadits, menggolongkan Tirmizi ke dalam
kelompok "Siqat" atau orang-orang yang dapat dipercayai dan kokoh
hafalannya, dan berkata: "Tirmizi adalah salah seorang ulama yang
mengumpulkan hadits, menyusun kitab, menghafal hadits dan bermuzakarah
(berdiskusi) dengan para ulama."
Abu Ya’la al-Khalili
dalam kitabnya ‘Ulumul Hadits menerangkan; Muhammad bin ‘Isa at-Tirmizi adalah
seorang penghafal dan ahli hadits yang baik yang telah diakui oleh para ulama.
Ia memiliki kitab Sunan dan kitab Al-Jarh wat-Ta’dil. Hadits-haditsnya
diriwayatkan oleh Abu Mahbub dan banyak ulama lain. Ia terkenal sebagai seorang
yang dapat dipercaya, seorang ulama dan imam yang menjadi ikutan dan yang
berilmu luas. Kitabnya Al-Jami’us Sahih sebagai bukti atas keagungan
derajatnya, keluasan hafalannya, banyak bacaannya dan pengetahuannya tentang
hadits yang sangat mendalam.
FIQH TIRMIZI DAN
IJTIHADNYA
Imam Tirmizi, di samping
dikenal sebagai ahli dan penghafal hadits yang mengetahui kelemahan-kelemahan
dan perawi-perawinya, ia juga dikenal sebagai ahli fiqh yang mewakili wawasan
dan pandangan luas. Barang siapa mempelajari kitab Jami’nya ia akan mendapatkan
ketinggian ilmu dan kedalaman penguasaannya terhadap berbagai mazhab fikih.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh mencerminkan dirinya sebagai ulama
yang sangat berpengalaman dan mengerti betul duduk permasalahan yang
sebenarnya.
Salah satu contoh ialah
penjelasannya terhadap sebuah hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang
dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut:
"Muhammad bin
Basysyar bin Mahdi menceritakan kepada kami Sufyan menceritakan kepada kami,
dari Abi az-Zunad, dari al-A’rai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda:
‘Penangguhan membayar utang yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah
suatu kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada
orang lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu
diterimanya."
Imam Tirmizi memberikan
penjelasan sebagai berikut:
Sebagian ahli ilmu
berkata: " apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang
mampu membayar dan ia menerima pemindahan itu, maka bebaslah orang yang
memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang dipindahkan piutangnya (muhtal)
tidak dibolehkan menuntut kepada muhil." Diktum ini adalah pendapat
Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.
Sebagian ahli ilmu yang
lain berkata: "Apabila harta seseorang (muhtal) menjadi rugi disebabkan
kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan menuntut bayar kepada orang
pertama (muhil)." Mereka memakai alas an dengan perkataan Usma dan
lainnya, yang menegaskan: "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang
Muslim."
Menurut Ishak, maka
perkataan "Tidak ada kerugian atas harta benda seorang Muslim" ini
adalah "Apabila seseorang dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang
dikiranya mampu, namun ternyata orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada
kerugian atas harta benda orang Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu."
Itulah salah satu contoh
yang menunjukkan kepada kita, bahwa betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Tirmizi
dalam memahami nas-nas hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu.
KARYA KARYANYA
Imam Tirmizi banyak
menulis kitab-kitab. Di antaranya:
- Kitab Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan
at-Tirmidzi
- Kitab Al-‘Ilal
- Kitab At-Tarikh
- Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah
- Kitab Az-Zuhd
- Kitab Al-Asma’ wal-Kuna
Di antara kitab-kitab
tersebut yang paling besar dan terkenal serta beredar luas adalah Al-Jami’.
SEKILAS TENTANG AL JAMI'
Kitab ini adalah salah
satu kitab karya Imam Tirmizi terbesar dan paling banyak manfaatnya. Ia
tergolong salah satu "Kutubus Sittah" (Enam Kitab Pokok Bidang
Hadits) dan ensiklopedia hadits terkenal. Al-Jami’ ini terkenal dengan nama
Jami’ Tirmizi, dinisbatkan kepada penulisnya, yang juga terkenal dengan nama
Sunan Tirmizi. Namun nama pertamalah yang popular.
Sebagian ulama tidak
berkeberatan menyandangkan gelar as-Sahih kepadanya, sehingga mereka
menamakannya dengan Sahih Tirmizi. Sebenarnya pemberian nama ini tidak tepat
dan terlalu gegabah.
Setelah selesai
menyususn kitab ini, Tirmizi memperlihatkan kitabnya kepada para ulama dan
mereka senang dan menerimanya dengan baik. Ia menerangkan: "Setelah
selesai menyusun kitab ini, aku perlihatkan kitab tersebut kepada ulama-ulama
Hijaz, Irak dan Khurasan, dan mereka semuanya meridhainya, seolah-olah di rumah
tersebut ada Nabi yang selalu berbicara."
Imam Tirmizi di dalam
Al-Jami’-nya tidak hanya meriwayatkan hadits sahih semata, tetapi juga
meriwayatkan hadits-hadits hasan, da’if, garib dan mu’allal dengan menerangkan
kelemahannya.
Dalam pada itu, ia tidak
meriwayatkan dalam kitabnya itu, kecuali hadits-hadits yang diamalkan atau dijadikan
pegangan oleh ahli fiqh. Metode demikian ini merupakan cara atau syarat yang
longgar. Oleh karenanya, ia meriwayatkan semua hadits yang memiliki nilai
demikian, baik jalan periwayatannya itu sahih ataupun tidak sahih. Hanya saja
ia selalu memberikan penjelasan yang sesuai dengan keadaan setiap hadits.
Diriwayatkan, bahwa ia
pernah berkata: "Semua hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat
diamalkan." Oleh karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya
(sebagai pegangan), kecuali dua buah hadits, yaitu:
- "Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak salat Zuhur
dengan Asar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab "takut"
dan "dalam perjalanan."
- "Jika ia peminum khamar, minum lagi pada yang
keempat kalinya, maka bunuhlah dia."
Hadits ini adalah
mansukh dan ijma ulama menunjukan demikian. Sedangkan mengenai salat jamak
dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat untuk
meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh (jawaz) hukumnya
melakukan salat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini
adalah pendapat Ibnu Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli
hadits juga Ibnu Munzir.
Hadits-hadits dha’if dan
munkar yang terdapat dalam kitab ini, pada umumnya hanya menyangkut fada’il
al-a’mal (anjuran melakukan perbuatan-perbuatan kebajikan). Hal itu dapat
dimengerti karena persyaratan-persyaratan bagi (meriwayatkan dan mengamalkan)
hadits semacam ini lebih longgar dibandingkan dengan persyaratan bagi
hadits-hadits tentang halal dan haram.