“Ia murid paling cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya
menghadapi sidang pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah
Abbasiyyah selama 15 tahun karena menolak doktrin resmi Mu’tazilah merupakan
saksi hidup watak agung dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar
sepanjang masa.” Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi’i, yang tak lain
adalah guru Imam Hanbali. Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan
yang tak sesuai dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara
hidup dan mati. Dan Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam
Hanbali yang dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan
perhatian besar pada ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah
melahirkan banyak ulama dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam
Muslim, dan Imam Abu Daud yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka
seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits
standar yang menjadi rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran
Islam yang disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga
mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya,
Abdullah bin Ahmad, Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits
sejumlah itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab
karyanya Al Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan
kembali dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan.
Umumnya hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang
berderajat dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa
yang banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat
dalam Al Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang
berulang.
Kepandaian
Imam Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran
Baghdad, 780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami
ilmu. Lahir dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan
oleh ibunya, karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun,
Hanbali belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti
Kufah, Basrah, Syam, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain
Hammad bin Khalid, Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim,
dan Musa bin Tariq. Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits,
tafsir, kalam, dan bahasa. Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat
menyerap semua pelajaran dengan baik.
Kecintaannya
kepada ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama
terkenal di suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya
untuk menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan
Hanbali rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40
tahun.
Pertama
kali, ia menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama
Saleh. Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan
dikarunia putra bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali
menikah untuk terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita
bernama Husinah. Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan,
Husain, Muhammad, dan Said.
Tak
hanya pandai, Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim
bin Hani, salah seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan
kezuhudan Imam Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun
sedikit sekali di waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga
Shubuh tiba,” katanya.
Mengenai kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih,
berkata, ”Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang
sebanyak empat dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari
ini dan semuanya kuberikan kepadamu.”’
Imam
Hanbali juga dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran
Mu’tazilah tengah berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah
yang menjadikan aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama
berang. Salah satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham
Al-Qur’an merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak
pandangan itu.
Imam
Hanbali termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan
disiksa oleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul.
Siksaan ini berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan
tersebut makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu
membuat umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak
kendati ia mendekam dalam penjara.
Sepeninggal
Al Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang
pengganti, membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin
terkenal dan banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para
ulama yang belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari,
Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam
Ibnu Abi, dan Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana
ketiga Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya,
ajaran-ajaran Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik)
ritual, khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam
Hanbali memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama
yang bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan
pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama,
nash (Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa
dengan Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua,
fatwa sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga,
jika para sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya
lebih sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang
ada tidak jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan
menetapkan salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya.
Keempat,
mengambil hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama
perawinya), dan hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau
hadits lemah). Dalam hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan
kelima adalah qias, atau analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar
hukum dari keempat sumber di atas.
Pada awalnya madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6
H, madzhab ini berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11
dan ke-12 H, berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H).
Kedua tokoh inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian
pada fikih madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab
tersebut banyak dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil
karya Imam Hanbali tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan.
Beberapa kitab yang sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An
Nasikh wal Mansukh, Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara.
Kitabnya yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.