Ilmu bahasa ini terdiri dari beberapa ilmu. Diantaranya
Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Balaghah, Ilmu Bahasa dan Ilmu Arudh.
1. Ilmu
Nahwu dan Sharaf
Pada
mulanya bahasa arab dapat bertahan dengan kuat terhadap kemunduran yang mulai
terasa pada akhi akhir masa bani Umaiyah, karena tampuk pemerintahan, seperti
jabatan panglima panglima, gubernur gubernur dan kedudukan kedudukan penting
lainnya masih dipegang oleh orang arab, yang bahasanya masih tetap bahasa
(fasih) murni dan bermutu, tambahan pula mereka amat fanatic terhadap bangsa
dan bahasanya.
Dimasa
itu seorang pemimpin yang menyimpang dari tata bahasa yang fasih, walaupun
sedikit saja sudah dianggap rendah dan hina. Tiap tiap pemimpin, baik ia
pemimpin politik ataupun pemimpin perang atau pemimpin social, semenjak dari
khalifah sampai kepada kepala daerah adalah orang orang yang ahli dalam bahasa
, cakap berpidato dan dapat mengkritik kaidah kaidah yang diucapkan dihadapkannya,
kefasihan dan mutu bahasa ini bukan saja dimiliki oleh para pemimpin tetapi
juga dimiliki oleh umumnya bangsa arab, karena merasa bangga terhadap keturunan
dan nasab serta perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tertinggi dan
teristimewa, sangat mendalam dalam jiwa mereka (meskipun sifat ini bertentangan dengan agama islam)
sehingga mereka enggan bergaul dengan orang orang yang bukan bangsa arab dan
merasa rendah bila ikut bekerja bersama sama orang ajam (bukan bangsa arab)
itu.
Diantara
orang orang arab itu jarang yang mau bertani, bertukang, berternak dan
sebagainya, dengan demikian bahasa arab dapat terpelihara kemurniannya, karena
percakapan percakapan orang arab tidak dapat dipengaruhi oleh kelmahan dan
kekurangan mutu bahasa yang dipakai sehari
hari oleh orang ajam itu. Tetapi karena berdirinya kerajaan Bani Abbas boleh
dikatakan atas bantuan dari sokongan orang orang Persia, terutama atas bantuan
Abu Muslim Al Khurasani, maka sebagai balas jasa, diserahkanlah kepada mereka
beberapa jabatan yang penting dalam Negara. Dan dengan berangsur angsur
bertambah banyaklah diantara mereka yang menduduki posisi posisi yang tinggi
seperti menjadi gubernur, panglima dan menteri.
Makin
lama bertambah naik nama dan kedudukan mereka, dan dengan sendirinya bertambah
turun kedudukan orang arab. Akhirnya tidak sampai satu Abad semenjak berdirinya
kerajaan Bani Abbas, semua kedudukan yang Pen
ting, kecuali pangkat khalifah telah dipegang oleh orang
Persia, oleh karena yang memgang kekuasan bukan bangsa arab lagi, maka
hilanglah perasaan bangga terhadap nasab dan keturunan atau perasaan bahwa
mereka adalah golongan yang tinggi dan mulia, kalau dahulu mereka enggan
bekerja sebagai petani, peternak, dan tukang, sekarang mereka telah memasuki
semua lapangan, bahkan banyak diantara wanita wanita arab yang kawin dengan
peranakan arab – Persia , bahkan ada yang kawin dengan orang Persia sendiri.
Dengan
berasimilasinya orang orang arab kedalam masyarakat orang Persia, mulailah
bahasa arab mengalami kemunduran, apalagi pemimpin pemimpin yang berkuasa bukan
orang arab, sehingga timbullah satu bahasa pasar yang tidak dapat dianggap
sebagai bahasa arab yang murni, seperti yang terjadi di Mesir dan Damaskus, tetapi yang paling hebat
adalah kemunduran bahasa arab di Persia. Hal ini menimbulkan kesadaran para
ulama’ dan ahli bahasa arab, sehingga mereka bangun serentak utnuk
mempertahankan bahasa arab dari keruntuhannya. Dengan rusaknya bahasa arab
tentu tidak aka nada lagi yang dapat memahmi Alqur’anul karim, sedangkan
Alqur’an itu adalah kitab suci yang harus selalu dipelihara dan diselidiki isi
dan maknanya. Karena itu mereka merasa bahwa diatas pundak merekalah terletak
kewajiban untuk memelihara Alqur’an dengan jalan mempertahankan kemurnian
bahasa arab. Untuk itu mereka telah mengarang ilmu Nahwu (Gramatika bahasa arab
) agar bahasa arab itu dapat dipelajari dengan baik oleh umat yang tidak
berbahasa arab, sehingga mereka terhindar dari kesalahan kesalahan pengucapan
dan dapat membaca dengan fasih.
Ilmu
ini dirintis oleh penyusunnya, mula mula oleh Abul Aswad Ad Duali, atas nasehat
Ali bin abu thalib. Kemudian ilmu ini berkembang di Basrah dan menjadi luas
pengembangannya, sehingga banyak ulama’ ulama’ atau ahli bahasa bahasa yang
mengarang kitab kitab Nahwu itu. Diantara pengarang pengarang kitab kitab Nahwu
itu ialah Abul Ishaq Al Hadhrami (wafat 117 H ), Isa bin Umar (wafat 149 H ), pengarang kitab “Al Jaami’” dan “Al
Ikmal” ialah Al Khalil bin Ahmad, Sibawalhi, Abu Amir bin Al’Ala’ (wafat 154 H
), dan Al Ahfasy murid Sibawalhi. Ilmu
Nahwu ini berkembang pula di Kufah yang dipelopori oleh Mu’Adz Al Harra’, Abu Ja’far Ar Ruasi dan kedua murid
muridnya Al Kisai dan Al Farra’, sehingga
terjadilah dua aliran dalam ilmu Nahwu ini yaitu : Aliran Basrah dan Aliran Kufah.
Akhirnya kedua aliran ini bertemu di Bagdhad, pusat pemerintahan Abbasiyah,
masing masing dibahas oleh Ibnu Qutaibah dan Hanifah Al Dinauri.
2. Balaghah
Mereka
menyusun pula Ilmu Balaghah yang mencakup Ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’ untuk
menjelaskan keistimewaan dan keindahan susunan bahasa dan segi segi I’jaz
Alqur’an. Ilmu ini disusun setelah selesai mengarang Nahwu dan Sharaf. Kitab
yang mula mula dikarang dalam ilmu Bayan ialah Kitab Majazul Qur’an oleh
“Ubaidah” murid Al Khalil. Kemudian disusul oleh beberapa Ulama’. Dalam Ilmu Ma’ani kitab I’jazul Qur’an
yang dikarang oleh Al Jahizh. Dan
dalam ilmu Badi’ kitab yang dikarang oleh Ibnu Mu’taz dan Qudamah bin Ja’far.
Kemudian
berturut turut ulama’ mengarang bermacam macam kitab dalam ilmu balaghah yang
termasyhur, yaitu Abdul Qadir Al Jurjani yang mengarang kitab “Dalallil I’jaz
dalam ilmu Ma’ani dan Kitab Asrarul Balaghah dalam ilmu Bayan dan Asakkaki yang mengarang kitab
Miftahul Ulum yang mencakup segala masalah dalam ilmu balaghah
3. Ilmu Bahasa
Untuk
memlihara pengertian kata kata dalam Alqur’an mereka mengarang kamus bahasa
Arab. Pada mulanya kamus kamus ini hanya merupakan kitab kitab kecil yang
mengupas bermacam macam kata, seperti kata kata yang berhubungan dengan manusia,
binatang, tumbuh tumbuhan dan benda benda. Kemudian muncullah Al Khalil yang
mengumpulkan kata kata bahasa arab dalam suatu kitab dan menyusunnya
berdasarkan huruf huruf yang dimulainya dengan huruf ع , karena itu kitab ini
dinamakan”Kitaabul Ain” , kemudian barulah kemudian dikarangkan sebuah kamus
yang tersusun menurut huruf Hijaiyah oleh Abu Bakar bin Duraid yang dinamakan “
Al Jamharah” , lalu timbullah bermacam macam kamus yang dikarang oleh ahli ahli
bahasa, diantaranya” Ash Shihah yang dikarang oleh Al Jauhari, kitab Al Muhkam yang dikarang oleh
Ibnu Syayyidih, kitab Al Muhith yang dikarang oleh Ash Shahib bin Ibad, kitab
An Nihayah oleh Ibnu Atsir, kitab Lisanul Arab oleh Ibnu Muqarran dan lain
sebagainya.