Abu Abdullah Muhammad
bin Abdullah al-Hakim al-Naisaburi (321 H/933 M - 405 H/1014 M) atau terkenal dengan sebutan Al-Hakim saja,
adalah salah seorang imam di antara ulama-ulama hadits dan seorang penyusun
kitab yang terkemuka di zamannya. Namanya lengkapnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Handawaihi bin Nu'aim al-Dhabbi
al-Thahmani al-Naisaburi, juga terkenal dengan sebutan gelarnya Ibnu
al-Baiyi.
BIOGRAFI
Ia dilahirkan di
Naisabur pada pagi Jumat, bertepatan dengan 3 Rabiul Awal pada tahun 321 H. Ia
pernah dilantik sebagai hakim di Naisabur pada tahun 359 H, sehingga dikenal
dengan nama "al-Hakim". Ia wafat juga di Naisabur pada tahun 405 H.
PENDIDIKAN AGAMA
Awal pendidikan ilmu
agama didapatkannya dari ayah dan bapak saudaranya, kemudian ia berguru pula
kepada Abu Hatim bin Hibban pada tahun 334 H. Ia juga disebutkan telah belajar
ilmu fiqih kepada seorang ulama besar di Naisabur, yaitu Ali bin Sahal Muhammad
bin Sulaiman al-Shaluki al-Syafi'i. Setelah itu pada tahun 340 H, ia berhijrah
meninggalkan kampung halamannya menuju Irak. Di sana, ia mempelajari ilmu
hadits dari Ali bin Ali bin Abi Khurairah, seorang faqih yang terkenal. Setelah
menunaikan ibadah haji, ia kemudian bersafari mencari ilmu ke Khurasan dan
negara-negara lain. Ia bertekad untuk mencari dan mengumpulkan hadits, hingga
disebutkan bahwa ia telah mendengar hadits dari sejumlah besar para ulama,
serta menurut riwayat gurunya berjumlah sekitar 1.000 orang.
KARYA KARYA
Terdapat banyak para
ahli ilmu yang meriwayatkan hadits darinya, di antaranya Daruquthni, Abu Bakar
Al-Qaffal Al-Syasy dan teman-temannya. Ia sentiasa bermuzakarah dan
bermuhadharah bersama para ulama hadits, bahkan ia juga pernah bermubhahasah
dengan Daruquthni. Selain itu, ia juga menghasilkan karya-karya berbentuk
penulisan dalam pelbagai jenis ilmu. Di antara kitab-kitab karyanya yang
terkenal, ialah Ma'rifat 'Ulum al-Hadits, al-Madkhal 'ala 'ilmi
al-Shahih, al-Mustadrak 'ala al-Shahihain, Fadhail al-Imam al-Syafi'i, dan al-Amali.
BIGRAFI IMAM AL HAKIM
SECARA JELASNYA
Dia adalah Al Hafizh Muhammad bin Abdullah bin Hamdawaih bin
Nu’aim bin Al Hakim, Abu Abdillah Adh-Dhabi Ath-Thahmani An-Naisaburi
Asy-Syafi'i. Dia terkenal dengan (sebutan) Ibnu Al Bayyi’.
Dia lahir di Naisabur pada hari Senin, 3 Rabiul Awwal,
tahun 321 H.
Al Hakim menuntut ilmu sejak kecil dengan
dukungan ayah dan pamannya. Pertama kali dia menyimak hadits pada tahun 330 H.
Dia minta didiktekan kepada Abu Hatim bin Hibban pada tahun 334 H, ketika dia
berusia 13 tahun.
Dia mendapatkan sanad-sanad ‘aali (sanad yang
dekat dengan Rasulullah atau jumlah periwayatnya lebih sedikit dibanding dengan sanad yang
lain-ed) di Khurasan, Irak, dan negeri-negeri di belakang sungai. Dia mendengar
dari sekitar 2000 syaikh. Di Naisabur, dia mendengar dari 1000 syaikh,
lalu pergi ke Irak pada usia 20 tahun. Dia tiba di sana beberapa saat setelah
Ismail Ash-Shaffar meninggal dunia.
Al Hakim meriwayatkan hadits dari ayahnya yang pernah melihat Imam
Muslim (pengarang kitab Ash-shahih), juga dari Muhammad bin Ali Al Mudzakir,
Muhammad bin Ya’qub Al Asham, Muhammad bin Ya’qub Asy-Syaibani bin Al Akhram,
Muhammad bin Ahmad bin Balawaih Al Jallab, Abu Ja’far Muhammad bin Ash-Shaffar,
dua teman Hasan bin Arafah (yaitu Ali bin Al Fadhl As-Saturi dan Ali bin
Abdullah Al Hakimi), Ismail bin Muhammad Ar-Razi, Muhammad bin Al Qasim Al
Ataki, Abu Ja’far Muhammad bin Muhammad bin Abdullah Al Baghdadi Al Jamal,
Muhammad bin Al Mu`ammal Al Masarjasi, Muhammad bin Mahbub (seorang ahli hadits
negeri Marwa), Abu Hamid Ahmad bin Ali bin Hasnawaih, Hasan bin Ya’qub Al
Bukhari, Qasim bin Qasim As-Sayyari, Abu Bakar Ahmad bin Ishaq Ash-Shibghi,
Ahmad bin Muhammad bin Abdus Al Anazi, Muhammad bin Ahmad Ash-Shairafi, Abu Al
Walid Hassan bin Muhammad Al Faqih, Abu Ali Al Husain bin Ali An-Naisaburi Al
Hafizh, Hajib bin Ahmad Ath-Thusi (akan tetapi dia tidak mendengar darinya),
Ali bin Hamsyad Al Adl, Muhammad bin Shalih bin Hani, Abu An-Nadhr Muhammad bin
Muhammad Al Faqih, Abu Amr Utsman bin Ahmad Ad-Daqqaq Al Baghdadi, Abu Bakar
An-Najjad, Abdullah bin Darastawaih, Abu Sahal bin Ziyad, Abdul Baqi bin Qani’,
Abdurrahman bin Hamdan Al Jallab (syaikhnya Hamadzan), Husain bin Hasan
Ath-Thusi, Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Uqbah Asy-Syaibani, Muhammad bin
Hatim bin Huzaimah Al Kasyi —seorang syaikh yang mengaku pernah bertemu dengan
Abd bin Humaid— dan ulama-ulama lainnya. Al Hakim juga meriwayatkan dari Abu
Thahir Az-Zabadi dan Qadhi Abu Bakar Al Jiri.
Adapun mereka yang meriwayatkan hadits dari Al Hakim adalah: Ad-Daraquthni
(yang juga termasuk salah seorang gurunya), Abu Al Fath bin Abu Al Fawaris, Abu
Al Ala` Al Wasithi, Muhammad bin Ahmad bin Ya'qub, Abu Dzar Al Harawi, Abu
Ya'la Al Khalili, Abu Bakar Al Baihaqi, Abu Al Qasim Al Qusyairi, Abu Shalih Al
Muadzin, Zaki Abdul Hamid Al Bahiri, Mu`ammal bin Muhammad bin Abdul Wahid, Abu
Al Fadhl Muhammad bin Ubaidillah Ash-Sharram, Utsman bin Muhammad Al Mahmi, Abu
Bakar Ahmad bin Ali bin Khalaf Asy-Syirazi, dan masih banyak lagi yang lain.
Dia belajar riwayat kepada Ibnu Al Imam, Muhammad bin Abu Manshur
Ash-Sharram, Abu Ali bin An-Naqqar (ahli qira`at Kufah), dan
Abu Isa Bakkar (ahli qira`at Baghdad).
Dia belajar fikih kepada Abu Ali bin Abu Hurairah, Abu Al Walid
Hassan bin Muhammad, dan Abu Sahal Ash-Sha'luk.
Dia belajar bidang-bidang hadits kepada Abu Ali Al Hafizh, Al
Ja'abi, Abu Ahmad Al Hakim, Ad-Daraquthni, dan yang lain.
Di antara guru-gurunya ada yang mengambil hadits darinya,
yaitu Abu Ishaq Al Muzakki dan Ahmad bin Abu Utsman Al Hairi.
Al Hakim juga mempunyai teman dari pembesar kalangan sufi, yaitu
Ismail bin Nujaid, Ja’far Al Khaladi, dan Abu Utsman Al Maghribi.
Pujian Ulama terhadap Al Hakim
Banyak ulama yang memuji Abu Abdillah Al Hakim. Inilah
komentar sebagian ulama tentang Al Hakim:
Al Khathib berkata, “Dia termasuk orang yang terhormat, berilmu, berwawasan
luas, dan ahli hadits. Dia banyak mengarang buku-buku tentang hadits.”
Al Khathib lalu berkata, “Dia adalah orang yang tsiqah (terpercaya).”
Abdul
Ghafir bin Ismail berkata, “Dia pemimpin ahli hadits pada masanya, dan
benar-benar pakar di dalamnya. Dia melanjutkan, “Rumahnya adalah rumah
kebaikan, wara’, dan ilmu dalam Islam.” Dia juga berkata,
“Dalam karya-karyanya yang terkenal, dia menyebutkan nama guru-gurunya.”Dia juga
berkata, “Aku pernah mendengar guru-guru kami menyebut-nyebut saat-saat
hidupnya. Mereka menuturkan bahwa para seniornya yang semasa dengannya, seperti
Abu Sahal Ash-Sha'luki, Imam Ibnu Faurak, dan Imam-Imam lainnya telah
mengutamakannya atas diri mereka. Mereka benar-benar mengakui kelebihannya dan
menghormatinya."
Muhammad bin Thahir Al Hafizh berkata, "Aku pernah
bertanya kepada Mas’ad Az-Zanjani Al Hafizh di Makkah, 'Ada empat ahli hadits
yang hidup sezaman, lalu siapakah di antara mereka yang paling ahli'?” Ia balik
bertanya, 'Siapa saja mereka?' Aku menjawab, 'Ad-Daraquthni di Baghdad, Abdul
Ghani di Mesir, Abu Abdillah bin Mandah di Asfahan, dan Abu Abdillah Al Hakim
di Naisabur'. Dia pun terdiam, lalu berkata, Ad-Daraquthni adalah orang yang
paling mengetahui ilal, Abdul Ghani adalah orang yang paling mengetahui
nasab, Ibnu Mandah adalah orang yang paling banyak haditsnya dengan pengetahuan
yang sempurna, sementara Al Hakim adalah orang yang paling bagus karyanya'.
Adz-Dzahabi berkata, “Dia seorang Imam ahli hadits,
kritikus, sangat pandai, dan syaikhnya para muhaddits
Ibnu Katsir berkata, “Dia seorang ahli agama, orang yang
dapat dipercaya, dapat menjaga diri, teliti (kuat hapalannya), objektif, dan wara
Khalil bin Abdullah Al Hafizh berkata, “Dia (Al Hakim)
berdiskusi dengan Ad-Daraquthni dan suka dengannya. Dia orang yang tsiqah dan
luas ilmunya. Karyanya hampir mencapai 500 juz.”
Dia berkata, "Aku pernah bertanya kepadanya, lalu
dia menjawab, 'Jika kamu mempelajari bab tertentu, maka kamu harus memeriksanya
lagi, karena usiaku telah tua'. Ternyata aku mendapati segala hal yang
disampaikannya seperti lautan (lantaran sangat luasnya ilmunya)
As-Sam’ani berkata, “Dia salah seorang yang memiliki
kelebihan dan berilmu, berpengetahuan, dan seorang ahli hadits. Dia banyak
memiliki karya yang bagus dalam ilmu hadits dan ilmu-ilmu lainnya
Ibnu Khalkan berkata, “Dia seorang Imam hadits pada
masanya dan penulis kitab-kitab yang belum pernah dikarang sebelumnya. Dia
orang yang memiliki ilmu yang luas
Ibnu Nashirudin berkata, “Dia orang yang shaduq (jujur) As-Subki berkata, “Dia adalah Imam yang mulia dan
ahli hadits yang mumpuni, bahkan para ulama menyepakati hal tersebut
Karya-Karya Ilmiahnya
Al Hakim meninggalkan banyak karya yang bermanfaat, yang belum
pernah dikarang sebelumnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Khalkan. Di
antaranya adalah:
Tuduhan bahwa Al Hakim Seorang Penganut
Syi'ah dan Rafidhah
Banyak ulama yang membela dan membantah tuduhan bahwa Al
Hakim adalah orang yang berpihak pada Ali dan menolak (para sahabat yang lain).
Secara ringkas akan kami bahas masalah ini dengan
memaparkan pembelaan para ulama terhadap Al Hakim.
Al Khathib berkata dalam Tarikh Baghdad,
“Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) cenderung ke Syi'ah."
Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Armawi —orang yang
sudah tua, shalih, memiliki keutamaan, dan alim— berkata kepada kami di
Naisabur—, “Abu Abdillah Al Hakim telah menghimpun hadits-hadits yang dia
sangka sesuai kriteria Al Bukhari dan Muslim, yang harus dinukil keduanya dalam
kitab Shahih keduanya. Diantaranya hadits ath-thair dan
hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya, maka Alilah yang mejadi
pelindungnya '. Oleh karena itu, para Ashabul hadits mengingkari
hadits-hadits tersebut. Mereka tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula
membenarkan perbuatannya.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam An-Nubala`, "Menurutku
sekali-kali tidak, dia bukan seorang Rafidhah, tetapi hanya cenderung ke
Syi'ah.
Dia juga berkata dalam Mizan Al I’tidal,
“Menurutku, Allah menyukai sikap yang adil (objektif). Orang ini (Al Hakim)
bukanlah seorang Rafidhah, tetapi hanya seorang Syi'ah.
Dia kemudian berkata, “Dia terkenal sebagai orang Syi'ah,
tapi tidak menyerang Al Bukhari dan Muslim.
Dia juga berkata, “Adapun tentang kejujurannya pada
dirinya dan pengetahuannya tentang hal ini, merupakan sesuatu yang telah
disepakati oleh para ulama.
Prof. DR. Muwaffiq Abdullah pun turut mengomentari
pendapat-pendapat ini dengan mengkritik dan mengklarifikasinya Berikut ini perkataannya:
Menurut pendapat kami, takhrij yang
dilakukan oleh Al Hakim terhadap hadits ath-thair dalam Al
Mustadrak hanyalah ijtihadnya. Adz-Dzahabi telah mengutip —dengan
sanadnya— perkataan Abu Abdurrahman Asy-Syadziyakhi, "Aku pernah duduk di
majelis Sayyid Abu Al Hasan, lalu Al Hakim ditanya tentang hadits Ath-Thair,
dan dia menjawab, 'Tidak shahih, (karena) seandainya hadits itu shahih, maka
tidak ada sahabat yang lebih utama daripada Ali setelah Nabi SAW'.
Adz-Dzahabi berkata, “Ini merupakan riwayat yang kuat.
Lalu apa maksudnya Al Hakim menukil hadits ath-thair dalam Al
Mustadrak? Seakan-akan dia menyelisihi ijtihadnya sendiri. Aku telah
menghimpun jalur-jalur periwayatan hadits tersebut dalam satu juz dan jalur-jalur
hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya,' yang lebih shahih'.
Dia juga berkata dalam Tadzkirah Al Huffazh,
“Hadits ath-thair memiliki jalur periwayatan yang sangat
banyak. Aku telah menghimpunnya secara khusus dalam satu buku. Secara
keseluruhan hadits tersebut memiliki dasar. Adapun Hadits, 'Barangsiapa
yang aku menjadi pelindungnya', juga memiliki jalur-jalur yang baik,
yang telah aku himpun secara khusus dalam satu buku.
As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al Kubra membela
Al Hakim. Dia membantah orang yang menuduhnya sebagai Rafidhah. Dia berkata,
“Menyatakan bahwa hadits ath-thair merupakan hadits dha’if,
adalah tidak baik. Aku telah melihat komentar Al Hafizh Shalahuddin Khalil bin
Kaikaldi Al Ala’i, setelah menyebutkan takhrij At-Tirmidzi
terhadap hadits tersebut. Aku juga telah memeriksa pernyataan An-Nasa`i dalam Khashaish
Ali yang menyatakan bahwa yang benar hadits tersebut barangkali sampai
kepada derajat hasan, atau bisa jadi dha'if, tapi
masih bisa ditolelir."
Dia melanjutkan, “Menyatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ dari
seluruh jalurnya adalah tidak benar.
Dia juga berkata, “Aku pun merenung perihal Al
Hakim, lalu Allah mengilhamkan kepada diriku bahwa orang ini (Al Hakim) terlalu
cenderung kepada Ali melebihi batas kecenderungan yang diperbolehkan syariat Aku tidak mengatakan bahwa dia sampai merendahkan Abu
Bakar, Umar dan Utsman, tidak juga mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar,
tidak juga atas Utsman, karena aku melihat dalam kitabnya yang
berjudul Al Arba’in, dia membuat bab khusus tentang keutamaan Abu
Bakar, Umar, dan Utsman. Dia mengistimewakan mereka di antara para sahabat. Dia
juga mengutamakan Utsman atas Ali dalam kitabnya, Al Mustadrak.
Juga menyebutkan keutamaan Thalhah dan Zubair serta Abdullah bin Amr bin Ash.
Jadi, dugaan yang kuat adalah, dia bukan seorang Rafidhah.
Adapun tentang kecenderungannya yang berlebih-lebihan
terhadap Ali, tidak sampai kepada bid’ah. Aku bisa mengatakan bahwa yang
dimaksud Al Khathib adalah, bahwa Al Hakim sekadar cenderung berlebihan
terhadap Ali. Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa Al Hakim orang yangtsiqah (terpercaya),
sebab jika dia berkeyakinan bahwa Al Hakim adalah seorang Rafidhah, tentulah
dia menganggapnya cacat, terlebih untuk orang yang menolak riwayat ahli bid’ah.
Jadi, menurut kami perkataan Al Khathib mendekati kebenaran.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
- Perkataan Al Khathib dalam kitab Tarikh
Baghdad, “Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) adalah orang yang cenderung kepada
Syi'ah,” berpedoman pada penukilan Al Hakim terhadap hadits ath-thair dan
hadits, "Barangsiapa aku menjadi pelindungnya." Sebagaimana
yang dia sebutkan dalam Tarikh Baghdad, “Ahli hadits
mengingkari Al Hakim, tidak mengindahkan perkataannya dan tidak
membenarkan perbuatannya,” sebagaimana dikutip dari Abu Ishaq Ibrahim bin
Muhammad Al Armawi
Kita pun bertanya-tanya, “Apakah hanya Al Hakim
satu-satunya yang menukil hadits ath-thair? Ataukah ada ulama
hadits sebelumnya yang mendahuluinya?" At-Tirmidzi telah meriwayatkannya
dalam Al Manaqib (5/300) dan An-Nasa`i dalam Khasha`ish
Ali (no 10). Mengapa hanya Al Hakim yang dituduh Syi'ah dan
dilontarkan kepadanya berbagai keraguan lantaran ia meriwayatkan hadits ath-thair, sementara
ulama-ulama lainnya yang hidup sebelumnya tidak dituduh demikian?”
Adapun hadits, "Barangsiapa aku menjadi
pelindungnya," merupakan hadits shahih yang
diriwayatkan Imam Ahmad dan yang lain. Mengapa ahli hadits mengingkarinya,
tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula membenarkan perbuatannya?
Mengapa mereka tidak mengingkari Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya yang
menukil hadits tersebut? Padahal yang lebih tepat bahwa hadits tersebut adalah
hadits shahih.
- Riwayat yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dari Ibnu
Thahir Al Maqdisi, bahwa dia bertanya kepada Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad Al Harawi tentang Abu Abdillah Al Hakim, lalu dia (Abu Ismail)
menjawab, “Orang yang tsiqah dalam hadits, tapi seorang
Rafidhah yang jelek.” Cacat ini tertolak karena beberapa
sebab, diantaranya:
Pertama, Muhammad bin Thahir Al
Maqdisi telah berpikir secara rasional, yang telah kami komentari. Jadi,
pernyataannya tentang Al Hakim dalam masalah ini tidak dapat diterima.
Kedua, Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad Al Harawi adalah sebagaimana digambarkan oleh Adz-Dzahabi, “Seorang ahlul
atsar fanatik yang suka mendiskreditkan ahli kalam.”
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Hakim merupakan
orang yang berakidah Asy’ariyyah, maka pernyataannya tentang Al Hakim tidak
bisa diterima kecuali dengan dalil yang jelas, yang menyatakan bahwa dia
berliran Syi'ah atau Rafidhah.
Disamping itu, Syaikhul Islam Al Harawi merupakan
penganut madzhab Hanbali yang fanatik, dia pernah berkata,
Aku seorang penganut Hanbali,
baik ketika hidup maupun setelah mati.
Karena itu wasiatku kepada orang-orang,
hendaklah
mereka bermadzhab Hanbali.
Sementara itu, Al Hakim bermadzhab Asy-Syafi'i.
Tentang perkataan Ibnu Thahir, “Dia sangat fanatik
terhadap Syi'ah dalam batinnya dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap
masalah mereka (para sahabat) yang lebih utama, dan masalah khilafah. Secara
umum dia bersikap negatif terhadap Muawiyah RA dan keluarganya, Ibnu Thahir Al Maqdisi berpikir rasional, yang tidak
pantas untuk menyerang Al Hakim. Disamping itu, dalam sikapnya mencela akidah
Al Hakim, dia berargumen dengan dalil yang justru membela Al Hakim, bukan
menyerangnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman As-Sulami perkataannya:
Aku masuk menemui Al Hakim ketika dia sedang berada di rumahnya. Dia tidak bisa
keluar ke masjid karena (dicekal oleh) para pendukung Abu Abdullah bin Karram.
Aku katakan kepadanya, “Seandainya engkau keluar dan mendiktekan suatu hadits
tentang keutamaan orang ini (Abu Abdillah bin Karram), tentu engkau terbebas
dari ujian (pencekalan) ini.” Al Hakim lalu berkata, “Itu tidak datang dari
hatiku, itu tidak datang dari hatiku.”
Aku tidak tahu hubungan riwayat ini dengan ke-Syi'ah-an
Al Hakim. Sesungguhnya riwayat ini merupakan dalil kebenaran Al Hakim dan
kelurusan akidahnya, karena dia menolak bersikap munafik (yaitu mendiktekan
keutamaan Muhammad bin Karram).
Selain itu, telah diuraikan kutipan perkataan As-Subki,
“Aku melihat dalam kitabnya yang berjudul Al Arba’in, suatu bab
yang menjelaskan keutamaan Abu Bakar, Umar, serta Utsman. Dia mengistimewakan
mereka di antara para sahabat. Di dalam Al Mustadrak, dia juga
menjelaskan keutamaan Utsman atas Ali RA. Disamping itu, dia menukil beberapa
hadits yang menjelaskan keutamaan Utsman. Dia juga menjelaskan keutamaan
Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Amr bin Ash.
Bukti-bukti yang diuraikan tersebut, yakni yang mencela
akidah Al Hakim, tidak layak dijadikan sebagai dalil untuk mengatakan bahwa dia
seorang penganut Syi'ah, apalagi Rafidhah.
Disamping itu, menuduh akidah seorang muslim merupakan
hal yang sangat berbahaya, memerlukan bukti, penjelasan, serta dalil yang kuat.
Bagaimana jika muslim tersebut adalah salah seorang Imam agama ini, salah satu
tokoh penyebar Sunnah, dan ulama-ulama semasanya mengakui bahwa dia seorang
ahli hadits yang tsiqah? Apalagi dia terkenal dengan ketakwaan dan
kebaikannya, bahkan mereka mengutamakannya atas diri mereka? Dia juga memiliki
banyak karya yang membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang
kepadanya bertentangan dengan penjelasan yang terdapat dalam karya-karyanya
tersebut.
Sungguh aku heran dengan Adz-Dzahabi,
bagaimana mungkin dia menyebutkan sebagian riwayat ini tanpa mengomentarinya
secara ilmiah? Dia memang telah membantah sebagiannya dan melemahkannya, tetapi
sesungguhnya yang dituntut darinya adalah, tidak pantas dia berkata (tentang
Imam seperti Al Hakim), “Seorang penganut Syi'ah, tapi bukan Rafidhah,” tanpa
memberikan dalil yang kuat atas tuduhannya terhadap Al Hakim sebagai seorang
Syi'ah.
Wafatnya
Abu Abdillah Al Hakim wafat setelah meninggalkan
karya-karya ilmiahnya kepada kita yang sangat bernilai.
As-Subki
berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, “Benar dia wafat pada tahun
405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”