Cara pembacaan Alqur’an dan Penulisannya



     Setelah Wafat Utsman, Mushhaf Al Imam tetap dianggap sebagai satu satunya mushhaf yang dijadikan pegangan umat Islam dalam pembacaan Alqur’an. Meskipun demikian terdapat juga beberapa perbedaan dalam pembacaan tersebut. Sebab sebab timbulnya perbedaan itu dapat disimpulkan dalam dua hal :
  1. Penulisan Alqur’an itu sendiri.
  2. Perbedaan Lahjah (dialek ) orang orang Arab.

Penulisan Alqur’an itu telah menimbulkan perbedaan pembacaan, oleh karena Mushhaf Al Imam ditulis oleh sahabat sahabat yang tulisannya belum dapat dimasukkan kedalam golongan tulisan yang baik, sebagaimana diterangkan dalam buku “Muqadimah Ibnu Khaldun”, dalam buku tersebut Ibnu Khaldun berkata” perhatikanlah akibat akibat yang terjadi disebabkan tulisan Mushhaf yang ditulis sendiri oleh  sahabat sahabat dengan tangannya. Tulisan itu tidak begitu baik, sehingga kadang kadang terjadilah beberapa kesalahan dalam penulisan, jika ditinjau dari tulisan yang baik dan bagus.
      Untuk mengambil berkat, para tabi’ien dalam menyalin Alqur’an mengikuti saja bentuk tulisan Mushhaf  Al Imam, karena Mushhaf itu ditulis para sahabat Rosulullah sendiri yang menerima Alqur’an langsung dari nabi. Disamping itu penulisan Mushhaf Al Imam adalah tanpa titik dan baris.
     Adapun perbedaan lahjah orang orang arab telah menimbulkan macam macam qira’at (bacaan), sehingga pada tahun 200 H. munculah ahli ahli qira’at yang tidak terhitung banyaknya.
Diantara lahjah lahjah bahasa arab yang termasyhur ialah Qurasy, Hudzail, Tamim, Asad, Rabi’ah, Hawazin & Sa’ad.

Dan diantara qari’ qari yang termasyhur ialah :
1. Abdullah bin Amir (wafat 118) di Syam, perawi perawinya yang termasyhur ialah : Al Bazzi Abdul Hasan Hamid  bin Muhammad  dan Qunbul Abu Umar Muhammad.
2. Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir (wafat 120 H) di Makkah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Abu Bakar Syu’bah bin Ilyas dan Amr Hafas bin Sulaiman.
3. Abu Bakar Ashim bin Abi An Nujud (wafat 127) di Kufah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Abu Bakar Syu’bah bin Ilyas dan Amr Hafas bin Sulaiman.
4. Abu Amr bin Al Ala’ (wafat 154 H) di Bashrah, perawi perawinya iyang termasyhur ialah Ad Durawi, Abu Amr Hafas dan As Susi Abu Syuaib shaleh bin ziyad.
5. Nafi bin Na’im (wafat 109 H) di Madinah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Qulum Abu Musa Isa bin Mina dan Warasy Abu Sa’id Utsman bin Sa’id.
6. Abdul Hasan Ali bin Hamzah Al Kisai (wafat 189 H) di Bashrah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Abdul Harist Al Laits bin Khalid dan Ad Durawi.
7. Abu Imarah Hamzah bin Habib (wafat 216 H), perawi perawinya yang termasyhur ialah Abu Muhammad Khalafbin Hisyam dan Abu Isa Khallad bin Khalid.

Qira’at qira’at ini dimasyhurkan orang dengan “ Qira’at  Sab’ah” (yang tujuh) kemudian timbul lagi qira’at yang lain , yang qari’  qari’ nya ialah :
1. Abu Muhammad Ya’kub bin Ishaq Al Hadhrami (wafat 225 H) di Bashrah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Ruwais Muhammad bin Al Mutawakkil dan Rauf bin Abdul Mukimn.
2. Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam (wafat 229  H) di Kufah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Ishaq Al Warraq dan Idris Al Madda.
3. Abu Ja’far Yazid bin Al Qa’qa’ Al Makhzumi (wafat 230 H) di Madinah, perawi perawinya yang termasyhur ialah Ibnu Wardan dan Ibnu Jammaz.

     Dengan tamabahan yang tiga ini Qira’at itu menjadi sepuluh dan disebut “Qira’at yang sepuluh”
Kemudian timbul lagi empat qira’at yang lain pula, yang qari’ qari’nya ialah  Muhammad bin Mahaishis Al Makki, Al A’masy Al Kufi, Al Hasan Bashri dan Yahya Al Yazidi..
     Semuanya menjdi qira’at yang empat belas” Qira’at yang tujuh adalah qira’at yang Mutawatir ( yang diriwayatkan oleh perawi perawi yang banyak), dan qira’at yang tiga adalah Qira’at yang Ahad ( yang diriwayatkan oleh seorang perawi), sedang Qira’at yang empat adalah Qira’at yang Syadz (lemah).
     Sebagaimana diterangkan diatas, Alqur’an mula mula ditulis tanpa titik dan baris, namun demikian hal ini tidak mempengaruhi pembacaan Alqur’an, karena para sahabat dan para tabi’ien adalah orang orang yang fasih dalam bahasa arab, oleh sebab itu mereka dapat membacanya dengan baik dan tepat. Tetapi setelah agama islam tersiar dan banyak bangsa yang bangsa bukan arab memeluk agama islam, sulitlah bagi mereka membaca Alqur’an tanpa titk dan baris itu.
      Sangat dikhawatirkan bahwa hal ini akan menimbulkan kesalahan kesalahan dalam pembacaan Alqur’an, Maka Abul  Aswad Ad Duali mengambil Inisiatif untuk memberi tanda tanda dalam Alqur’an dengan tinta yang berlainan warnanya dengan tulisan Alqur’an. Tanda tanda itu adalah titik diatas untuk Fat hah, titik dibawah untuk kasrah, titik disebelah kiri atas untuk dhammah, dan dua titik untuk tanwin. Hal ini terjadi pada masa Muawiyah.
     Kemudian dimasa Khalifah Abdul Malik bin Marwan, Nashir bin Ashim dan Yahya bin Ya’mar menambahkan tanda tanda utnuk huruf huruf yang bertitik dengan tinta yang sama dengan tulisan Alqur’an. Itu adalah untuk membedakan antara maksud dari titik Abul Aswad Ad Duali dengan titik yang baru ini. Titk Abul Aswad adalah untuk tanda baca dan Titik Nashir bin Ashim adalah Titik Huruf. Cara penulisan semacam ini tetap berlaku pada masa bani Umaiyah dan pada masa permulaan bani Abbasiyah , bahkan tetap dipakai pula di Spanyol sampai pertengahan Abad  ke 4 H. kemudian ternyata bahwa cara pemberian tanda seperti ini menimbulkan kesulitan bagi para pembaca Alqur’an, karena terlalu banyak titik, sedang titik itu semakin lama hamper menjadi  serupa warnanya.
      Maka Al Khali mengambil inisiatif, untuk membuat tanda tanda yang baru, yaitu Huruf waw kecil (و ) diatas untuk tanda Dhammah, Huruf Alif kecil (  ) untuk tanda Fat hah, huruf Yaa kecil (    untuk tanda kasrah,  kepala huruf Syin (  ) untuk tanda Syaddah,  kepala Ha ( ﻩ  ) untuk tanda sukun, dan kepala Ain (  ) untuk Hamzah.

      Kemudian tanda tanda ini di permudah, dipotong dan ditambah sehingga menjadi bentuk yang ada sekarang ini.