1. Memelihara
Alqur’an dimasa nabi.
Pada
permulaan Islam bangsa arab adalah satu bangsa yang buta huruf, amat sedikti
diantara mereka yang pandai menulis dan membaca, mereka belum mengenal kertas,
sebagai kertas yang dikenal sekarang.
Perkataan
“Al Waraq” (daun) yang lazim pula dipakaikan dengan arti “Kertas” dimasa itu,
hanyalah dipakaikan kepada daun kayu saja. Adapun kata “Al qirthas” yang dari
padanya terambil kata kata Indonesia “Kertas” dipakaikan oleh mereka hanyalah
kepada benda benda (bahan bahan) yang mereka pergunakan untuk ditulis, yaitu;
kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah tamar (korma), tulang
binatang dsb. Setelah mereka menaklukkan negeri Persia, yaitu sesudah wafatnya
nabi Muhammad saw, barulah mereka mengetahui Kertas, orang Persia menamai
kertas itu dengan : “Kaqhid” maka dipakailah kata kata kaqhid ini untuk kertas
oleh bangsa arab semenjak itu.
Adapun
sebelum masa nabi atau dimasa nabi kat “Al Kaqhid” itu tidak ada dalam
pemakaian bahasa arab, maupun dalam hadist hadist nabi, kemudian kata kata “Al
qirthas” itupun dipakai pula oleh bangsa arab kepada apa yang dinamakan
“Kaqhid” dalam bahasa Persia itu.
Kitab
atau buku tentang apapun, juga belum ada pada mereka, kata kata “Kitab” dimasa
itu hanyalah berarti sepotong kulit, batu, tulang dan sebagainya yang telah
bertulis, atau berarti surat, seperti kata “Kitab” surat 027. An Naml ayat 28
اذْهَبْ بِكِتَابِي هَذَا فَأَلْقِهِ إِلَيْهِمْ ثُمَّ تَوَلَّ
عَنْهُمْ فَانْظُرْ مَاذَا يَرْجِعُونَ (٢٨)
28. Pergilah dengan (membawa) suratku
ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu
perhatikanlah apa yang mereka bicarakan"
Begitu juga “Kutub” (jama’ kitab) yang dikirimkan oleh nabi
kepada raja raja di masanya untuk menyeru mereka kepada islam.. karena mereka
belum mengenal kitab atau buku sebagai yang dikenal sekarang, sebab itu di
waktu Alqur’anul karim itu dibukukan dimasa Khalifah Utsman bin Affan sebagai
akan diterangkan nanti. Tidak tahu mereka dengan apa Alqur’an itu dinamai dan
bermacam macam pendapat sahabat tentang nama yang harus diberikan. Akhirnya
mereka sepakat menamainya dengan “Al Mushaf”.(isim maf’ul dari ashafa) dan
Ashafa artinya mengumpulkan shuhuf, jama’ “shahifah”, lembaran lembaran yang
telah bertulis.
Kendatipun
bangsa arab pada waktu itu masih buta huruf, tetapi mereka mempunyai ingatan
yang sangat kuat, sebab perpegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan
syair syair dari pujangga pujangga dan penyair penyair mereka, Anshab(istilah
keturunan) mereka, peperangan peperangan yang terjadi diantara mereka,
peristiwa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan mereka tiap
hari dan lain sebagainya adalah kepada hafalan semata mata.
Demikianlah
keadaan bangsa arab diwaktu kedatangan agama islam itu, maka dijalankanlah oleh
nabi suatu cara yang amali
(praktis) yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan Alqur’anul karim dan
memeliharanya.
Tiap
tiap diturunkan ayat ayat itu nabi menyuruh menghafalnya dan menuliskannya di
batu, kulit binatang, pelapah tamar dan apa apa yang bisa dipakai untuk
ditulis. Dan nabi menerangkan bagaimana ayat ayat itu mesti disusun dalam suatu
surat. Artinya oleh nabi dterangkan tertib urut ayat ayatnya itu. Nabi
mengadakan peraturan, yaitu Alqur’an sajalah yang boleh dituliskan, selain dari
Alqur’an itu yakni hadist atau pelajaran pelajaran yang mereka dengar dari
mulut nabi, dilarang menuliskannya. Larangan ini ialah dengan maksud supaya
Alqur’anul karim itu terpelihara, jangan campur aduk dengan yang lain lain,
yang juga didengar oleh
nabi.
Nabi
menganjurkan supaya Alqur’an itu dihafal, dibaca selalu dan diwajibkannya
membacanya dalam shalat.Dengan jalan demikian banyaklah orang yang menghafal
Alqur’an, surat yang satu macam di hafal oleh ribuan manusia dan hafal sama sekalipun banyak, dalam
pada itu tidak ada satu ayatpun yang tak dituliskan.
Kepandaian
membaca dan menulis itu amat dihargai dan digembirakan oleh nabi saw:
sabdanya :
Artinya : Di akhirat nanti tinta ulama’ ulama’ itu akan
ditimbangdengan darah syuhada’(orang orang mati syahid).
Pada
peperangan Badar, orang orang musyrikin yang ditawan oleh nabi, yang tidak
mampu menebus dirinya dengan uang, tetapi pandai menulis dan membaca, masing
masingnya diharuskan mengajar sepuluh orang muslim menulis dan membaca sebagai
ganti tebusan. Karena itu bertambahlah keinginan untuk belajar menulis dan
membaca dan bertambah banyaklah mereka yang pandai menulis dan membaca itu. Dan
banyaklah orang yang menuliskan ayat ayat yang telah diturunkan. Nabi sendiri
mempunyai beberapa orang penulis yang bertugas menuliskan Alqur’an utnuk
beliau. Penulis penulis itu yang terkenal ialah : Ali bin Abi thalib, Utsman
bin Affan, Ubay biab ka’ab, Zaid bin tsabit, dan muawiyah. Yang terbanyak
menuliskan ialah Zaid bin tsabit dan Muawiyah.
Dengan demikian terdapatlah dimasa nabi tiga unsure yang
tlong menolong memelihara
Alqur’an yang diturunkan :
1. Hafalan dari mereka yang hafal Alqur’an.
2. Naskah naskah yang ditulis untuk Nabi.
3. Naskah naskah yang ditulis oleh mereka yang pandai
menulis dan membaca untuk mereka masing
masing.
Dalam
pada itu oleh Jibril diadakan ulangan (repetisi) sekali setahun. Diwaktu
ulangan itu nabi disuruh mengulang memperdengarkan Alqur’an yang telah
diturunkan. Ditahun beliau wafat , ulangan itu diadakan oleh jibril dua kali.
Nabi
sendiripun sering mengadakan ulangan itu terhadap sahabat sahabatnya, maka
sahabat itu disrurh beliau membacakan Alqur’an itu di depannya, untuk
membetulkan hafalan atau bacaan mereka. Nabi baru wafat setelah Alqur’an itu
telah cukup di turunkan, telah dihafal oleh ribuan manusia dan telah dituliskan
semua ayat ayatnya. Ayat ayatnya dalam sesuatu surat telah disusun menurut
tertib urut yang ditunjukkan sendiri oleh nabi.
Mereka
telah mendengar Alqur’an itu dari mulut nabi berkali kali, dalam shalat, dalam
pidato pidato beliau, dalam pelajaran pelajaran dan lain lain, sebagaimana nabi
sendiripun telah mendengar pula dari mereka. Pendeknya Alqur’anul karim adalah
terjaga dan terpelihara baik baik, dan nabi telah menjalani suatu cara yang amat praktis untuk memelihara dan
menyiarkan Alqur’an itu, sesuai dengan keadaan bangsa arab di waktu itu.
Satu
hal yang menarik perhatian, ialah nabi baru wafat sebagai disebutkan diatas,
ialah dikala Alqur’an itu telah cukup diturunkan dan Alqur’an itu sempurna
diturunkan ialah diwaktu nabi telah mendekati masanya untuk kembali kehadirat
Allah yang maha kuasa. Hal ini bukanlah suatu kebetulan saja, hal ini sudah
diatur oleh yang maha Esa.
2. Alqur’an
Dimasa Abu Bakar.
Sesudah
rosulullah wafat, para sahabat baik Anshor maupun Muhajirin, sepakat mengangkat
Abu Bakar menjadi khalifah. Pada masa awal pemerintahannya banyak diantara
orang orang islam yang belum kuat imannya. Terutama di Nejed dan Yaman banyak
diantara mereka yang murtad dari agamanya dan banyak pula yang menolak membayar
zakat, disamping itu pula banyak orang yang mengaku menjadi nabi. Hal ini
dihadapi oleh Abu baker dengan tegas, sehingga ia berkata terhadap orang orang
yang menolak membayar zakat itu demikian,”Demi Allah ! kalau mereka menolak
untuk membayar seekor kambing sebagai zakat (seperti apa) yang pernah mereka
serahkan kepada rosulullah, niscaya aku akan memerangi mereka, maka terjadilah
peperangan yang hebat untuk menumpas orang orang murtad dan pengikut pengikut
orang yang mengaku dirinya sebagai nabi itu. Diantara peperangan peperangan itu
yang terkenal ialah peperangan “ Yamamah “
. Tentara islam yang ikut
dalam peperangan ini kebanyakan terdiri dari para sahabat dan para penghafal
Alqur’an. Dalam peperangan ini telah gugur 70 orang penghafal Alqur’an.
Bahkan sebelum itu gugur pula hamper sebanyak itu dari
penghafal Alqur’an dimasa nabi pada suatu pertempuran di sumur ma’unah dekat
kota madinah.
Oleh
karena itu Umar bin khathab khawatir akan gugurnya para sahabat penghafal
Alqur’an yang masih hidup, maka ia lalu datang kepada Abu bakar memusyawarahkan hal ini. Dalam
buku buku Tafsir dan hadist percakapan yang terjadi antara Abu bakar, Umar dan
Zaid bin tsabit mengenai pengumpulan Alqur’an diterangkan sebagai berikut:
Umar berkata kepada Abu bakar,” Dalam
peperangan Yamamah para sahabat yang hafal Alqur’an telah banyak yang gugur.
Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan
selanjutnya, sehingga banyak ayat ayat Alqur’an itu perlu dikumpulkan.
Abu
bakar menjawab : Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan
rosulullah?”.
Umar menegaskan : “Demi Allah ini adalah perbuatan yang
baik” dan ia berulang kali memberikan alasan alasan kebaikan pengumpulan Alqur’an
ini. Sehingga Allah membukakan hati Abu baker untuk menerima pendapat umar itu.
Kemudian Abu baker memanggil Zaid bin Tsabit dan berkata kepadanya; Umar ini
mengajakku mengumpulkan Alqur’an” lalu diceritakannya segala pembicaraan antara
dia dengan umar. Kemudian Abu baker berkata,”Engkau adalah seorang pemuda yang
cerdas yang kupercayai sepenuhnya dan engkau adalah seorang penulis wahyu yang
selalu disuruh oleh Rosulullah, oleh karena itu kumpulkanlah ayat ayat Alqur’an
itu.”Zaid bin tsabit menjawab ”Demi Allah ! ini adalah pekerjaan yang berat
bagiku. Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal
itu tidaklah lebih berat bagiku dari pada mengumpulkan Alqur’an yang engkau
perintahkan itu” dan ia berkata selanjutnya kepada Abu bakar dan Umar,”Mengapa
kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh nabi?,” Abu bakar menjawab
,” Demi Allah ! ini adalah perbuatan yang baik” lalu ia memberikan alasan
alasan kebaikan pengumpulan ayat ayat Alqur’an itu, sehingga membukakan hati
Zaid bin tsabit kemudian ia mengumpulkan Alqur’an dari daun, pelepah kurma,
batu, tanah keras, tulang unta atau kambing dan dari sahabat sahabat yang hafal
Alqur’an.
Dalam usaha mengumpulkan ayat ayat
Alqur’an itu Zaid bin tsabit bekerja amat teliti, sekalipun beliau hafal
Alqur’an seluruhnya, tetapi untuk kepentingan pengumpulan Alqur’an yang sangat
penting bagi umat islam itu, masih memandang perlu mencocokkan hafalan atau
catatan sahabat sahabat yang lain dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
Dengan demikian Alqur’an telah ditulis oleh Zaid bintsabit dalam lembaran
lembaran, dan diikatnya dengan benang, tersusun menurut urutan ayat ayatnya
sebagaimana yang telah ditetapkan oleh rosulullah, kemudian diserahkan kepada
Abu Bakar. Mushaf ini tetap ditangan Abu bakar sampai ia meninggal, kemudian
dipindahkan kerumah Umar bin khathab dan tetap ada disana selama
pemerintahannya. Sesudah beliau wafat, Mushaf itu dipindahkan kerumah hafsah,
putri Umar istri rosulullah sampai pengumpulan dan penyusunan Alqur’an dimasa
khalifah Utsman bin Affan.
3. Membukukan
Alqur’an di masa Utsman bin Affan
Tetaplah demikian keadaan Alqur’an
itu, artinya telah dituliskan dalam satu naskah yang lengkap, diatas lembaran
lembaran yang serupa, ayat dalam suatu surat tersusun menurut tertib urut yang
ditunjukan oleh nabi. Lembaran lembaran ini digulung dan di ikat dengan benang,
disimpan oleh mereka yang disebutkan diatas. Diatas telah disebutkan bahwa
dipermulaan pemerintahan Abu Bakar terjadilah “Riddah”(pemberontakan orang
orang Murtad). Yang kemudian dapat dipadamkan oleh Abu Bakar, maka setelah
jazirah Arab tentram kembali, mulailah Abu Bakar menyiarkan Islam kenegeri
negeri yang berdekatan.
Di
masa beliau tentara islam telah memasuki kota kota hirah dan Anbar (di
Mesopotamia) dan telah sampai disungai yarmuk di Syiria dan dimasa pemerintahan
Umar bin Khathab kaum muslimin telah menaklukan Bactriane dekat sungai Ayax
(Amu Daria) disebelah Timur dan Mesir disebelah Barat. Dan dimasa khalifah
Utsman bin Affan pemerintahan mereka telah sampai ke Armenia dan Azerbaizan
disebelah Timur dan Tripoli disebelah Barat. Dengan demikian
kelihatanlah bahwa kaum muslimin diwaktu itu telah
berpencar pencar di Mesir, Syiria, Irak, Persia &Afrika
Kemana mereka pergi, dan dimana mereka
tinggal Alqur’anul karim itu tetap jadi imam mereka, diantara mereka banyak yang menghafal Alqur’an itu .
Pada mereka ada naskah naskah dari Alqur’an itu, tetapi naskah naskah yang
mereka punyai itu tidak sama susunan surat suratnya. Begitu juga ada didapat
diantara mereka pertikaian tentang bacaan Alqur’an itu. Asal mulanya pertikaian
bacaan ini ialah karena rosulullah sendiripun ada memberi kelonggaran kepada
kabilah kabilah Arab yang berada dimasanya, untuk membaca dan melafadzkan
Alqur’an menurut lahjah (Dialek) mereka masing masing, kelongaran ini diberikan
oleh nabi supaya mudah mereka menghafal Alqur’an itu.
Tetapi kemudian kelihatan tanda tanda
bahwa pertikaian tentang bacaan Alqur’an ini kalau dibiarkan saja, akan mendatang
perselisihan dan perpecahan yang tidak di inginkan dalam kalangan kaum
muslimin. Adalah orang yang mula mula menghadapkan perhatian kepada hal ini
seorang sahabat yang bernama Huzaifah bin Yaman. Beliau ini ikut dalam
pertempuran menaklukan Armenia dan Azerbaizan, maka selama dalam perjalanan,
dia pernah mendengar pertikaian kaum muslimin tentang bacaan beberapa ayat
Alqur’an, dan pernah dia mendengar perkataan seorang muslim kepada temannya”
Bacaan saya lebih bagus dari bacaanmu”.
Keadaan ini mengaggetkan Huzaifah,
maka diwaktu dia telah kembali ke Madinah, segera ditemuinya Utsman bin Affan
dan kepada beliau diceritakannya apa yang dilihatnya mengenai pertikaian kaum
muslimin tentang bacaan Alqur’an itu, seraya berkata : Susulah umat islam itu
sebelum mereka berselisih tentang Al kitab, sebagai perselisihan Yahudi dan
Nasara. Maka oleh khalifah Utsman bin Affan dimintakan kepada Hafsah binti Umar
lembaran lembaran Alqur’an yang ditulis dimasa khalifah Abu Bakar dahulu. Yang
disimpan oleh Hafsah untuk disalin dan oleh Hafsah lembaran lembaran itu
diberikan kepada khalifah Utsman bin Affan.
Oleh Utsman dibentuklah satu panitia,
terdiri dari Zaid bin tsabit sebagai ketua, Abdullah bin Zubair, Said bin Ash
dan Abdur rahman bin harits bin Hisyam. Tugas panitia ini ialah membukukan
Alqur’an, yakni menyalin dari lembaran lembaran yang tersebut menjadi buku.
Dalam pelaksanaan tugas ini Utsman menasehatkan supaya :
1. Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal
Alqur’an.
2. Kalau ada pertikaian antara mereka tentang bahasa
(bacaan), maka haruslah dituliskan menurut
dialek suku quraisy, sebab Alqur’an diturunkan menurut dialek mereka.
Maka
dikerjakanlah oleh panitia sebagai yang ditugaskan kepada mereka dan setelah
tugas itu selesai, maka lembaran lembaran yang dipinjam dari hafsah
dikembalikan kepadanya. Alqur’an yang telah dibukukan itu dinamai dengan”Al
Mushaf” dan oleh panitia ditulis lima buah Al MUshaf, Empat buah diantaranya
dikirim keMakkah, Syiria, Basrah dan Kufah, Agar ditempat tempat itu disalin
pula dari masing masing Mushaf itu, dan satu buah ditinggalkan di Madinah,
untuk Utsman sendiri dan itulah yang dinamai dengan “Mushaf Al Imam”
Sesudah itu Utsman memerintahkan
mengumpulkan semua lembaran lembaran yang bertuliskan Alqur’an yang ditulis
sebelum itu dan membakarnya. Maka dari Mushaf yang ditulis dizaman Utsman
itulah kaum muslimin seluruh pelosok menyalin Alqur’an itu. Adapun kelainan
bacaan, sampai sekarang masih ada, karena bacaan bacaan yang dirawikan dengan mutawatir
dari nabi terus dipakai oleh kaum muslimin dan bacaan bacaan tersebut tidak
berlawanan dengan apa yang tertulis dalam Mushaf mushaf yang ditulis dimasa
Utsman itu.
Dengan demikian, maka pembukuan Alqur’an dimasa Utsman itu
faedahnya yang terutama ialah :
1. menyatukan kaum muslimin pada satu macam mushaf yang
seragam ejaan tulisannya.
2. menyatukan bacaan dan kendatipun masih ada kelainan
bacaan, tetapi bacaan itu tidak berlawanan
dengan ejaan Mushaf mushaf Utsman, sedang bacaan bacaan yang tidak sesuai tidak dibolehkan lagi.
3. menyatukan tertib susunan surat surat, menurut tertib
urut sebagai yang kelihatan pada mushaf
mushaf sekarang.
Dengan usha usaha yang disebutkan
diatas terpeliharalah Alqur’anul karim itu, dan sampailah dia kepada kita
sekarang dengan tidak ada perobahan sedikit juga dari apa yang telah diturunkan
kepada nabi Muhammad saw.
Dalam pada itu. Pada tiap tiap zaman
dan masa di dihafal oleh jutaan umat islam, ini adalah salah satu inayat tuhan
untuk menjaga Al’qur’an, dengan demikian terbuktilah firman Allah swt Surat 015. Al Hijr ayat 9
إِنَّا
نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (٩)
9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya[1].