Nabi Nuh
a.s. adalah nabi keempat sesudah Adam, Syith dan Idris dan keturunan kesembilan
dari Nabi Adam. Ayahnya adalah Lamik bin Metusyalih bin Idris.
Dakwah
Nabi Nuh kepada kaumnya
Nabi Nuh
menerima wahyu kenabian dari Allah dalam masa “fatrah” masa kekosongan di
antara dua rasul di mana biasanya manusia secara beransur-ansur melupakan
ajaran agama yang dibawa oleh nabi yang meninggalkan mereka dan kembali
bersyirik meninggalkan amal kebajikan, melakukan kemungkaran dan kemaksiatan di
bawah pimpinan Iblis. Demikianlah maka kaum Nabi Nuh tidak luput dari proses
tersebut, sehingga ketika Nabi Nuh datang di tengah-tengah mereka, mereka
sedang menyembah berhala ialah patung-patung yang dibuat oleh tangan-tangan
mereka sendiri disembahnya sebagai tuhan-tuhan yang dapat membawa kebaikan dan
manfaat serta menolak segala kesengsaraan dan kemalangan.berhala-berhala yang
dipertuhankan dan menurut kepercayaan mereka mempunyai kekuatan dan kekuasaan
ghaib ke atas manusia itu diberinya nama-nama yang silih berganti menurut
kehendak dan selera kebodohan mereka.Kadang-kadang mereka namakan berhala
mereka ” Wadd ” dan ” Suwa ” kadangkala ” Yaguts ” dan bila sudah bosan
digantinya dengan nama ” Yatuq ” dan ” Nasr “.
Nabi Nuh
berdakwah kepada kaumnya yang sudah jauh tersesat oleh iblis itu, mengajak
mereka meninggalkan syirik dan penyembahan berhala dan kembali kepada tauhid
menyembah Allah Tuhan sekalian alam melakukan ajaran-ajaran agama yang diwahyukan
kepadanya serta meninggalkan kemungkaran dan kemaksiatan yang diajarkan oleh
Syaitan dan Iblis.
Nabi Nuh
menarik perhatian kaumnya agar melihat alam semesta yang diciptakan oleh Allah
berupa langit dengan matahari, bulan dan bintang-bintang yang menghiasinya,
bumi dengan kekayaan yang ada di atas dan di bawahnya, berupa tumbuh-tumbuhan
dan air yang mengalir yang memberi kenikmatan hidup kepada manusia, pengantian
malam menjadi siang dan sebaliknya yang kesemua itu menjadi bukti dan tanda
nyata akan adanya keesaan Tuhan yang harus disembah dan bukan berhala-berhala
yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri.Di samping itu Nabi Nuh juga
memberitakan kepada mereka bahwa akan ada ganjaran yang akan diterima oleh
manusia atas segala amalannya di dunia iaitu syurga bagi amalan kebajikan dan
neraka bagi segala pelanggaran terhadap perintah agama yang berupa kemungkaran
dan kemaksiatan.
Nabi Nuh
yang dikurnia Allah dengan sifat-sifat yang patut dimiliki oleh seorang
nabi, fasih dan tegas dalam kata-katanya, bijaksana dan sabar dalam
tindak-tanduknya melaksanakan tugas risalahnya kepada kaumnya dengan penuh
kesabaran dan kebijaksanaan dengan cara yang lemah lembut mengetuk hati nurani
mereka dan kadang kala dengan kata-kata yang tajam dan nada yang kasar bila
menghadapi pembesar-pembesar kaumnya yang keras kepala yang enggan menerima
hujjah dan dalil-dalil yang dikemukakan kepada mereka yang tidak dapat mereka
membantahnya atau mematahkannya.
Akan
tetapi walaupun Nabi Nuh telah berusaha sekuat tenaganya berdakwah kepada
kaumnya dengan segala kebijaksanaan, kecekapan dan kesabaran dan dalam setiap
kesempatan, siang mahupun malam dengan cara berbisik-bisik atau cara terang dan
terbuka ternyata hanya sedikit sekali dari kaumnya yang dapat menerima
dakwahnya dan mengikuti ajakannya, yang menurut sementara riwayat tidak
melebihi bilangan seratus orang. Mereka pun terdiri dari orang-orang yang
miskin berkedudukan sosial lemah. Sedangkan orang yang kaya-raya, berkedudukan
tinggi dan terpandang dalam masyarakat, yang merupakan pembesar-pembesar dan
penguasa-penguasa tetap membangkang, tidak mempercayai Nabi Nuh mengingkari
dakwahnya dan sesekali tidak merelakan melepas agamanya dan kepercayaan mereka
terhadap berhala-berhala mereka, bahkan mereka berusaha dengan mengadakan
persekongkolan hendak melumpuhkan dan menggagalkan usaha dakwah Nabi Nuh.
Berkata
mereka kepada Nabi Nuh:
“Bukankah
engkau hanya seorang daripada kami dan tidak berbeda daripada kami sebagai
manusia biasa. Jikalau betul Allah akan mengutuskan seorang rasul yang membawa
perintah-Nya, nescaya Ia akan mengutuskan seorang malaikat yang patut kami
dengarkan kata-katanya dan kami ikuti ajakannya dan bukan manusia biasa seperti
engkau hanya dapat diikuti orang-orang rendah kedudukan sosialnya seperti para
buruh petani orang-orang yang tidak berpenghasilan yang bagi kami mereka
seperti sampah masyarakat.Pengikut-pengikutmu itu adalah orang-orang yang tidak
mempunyai daya fikiran dan ketajaman otak, mereka mengikutimu secara buta tuli
tanpa memikirkan dan menimbangkan masak-masak benar atau tidaknya dakwah dan
ajakanmu itu. Coba agama yang engkau bawa dan ajaran -ajaran yang engkau
sadurkan kepada kami itu betul-betul benar, nescaya kamilah dulu mengikutimu
dan bukannya orang-orang yang mengemis pengikut-pengikutmu itu. kami sebagai
pemuka-pemuka masyarakat yang pandai berfikir, memiliki kecerdasan otak dan
pandangan yang luas dan yang dipandang masyarakat sebagai pemimpin-pemimpinnya,
tidaklah mudah kami menerima ajakanmu dan dakwahmu.Engkau tidak mempunyai kelebihan
di atas kami tentang soa-soal kemasyarakatan dan pergaulan hidup.kami jauh
lebih pandai dan lebih mengetahui daripada mu tentang hal itu
semua.nya.Anggapan kami terhadapmu, tidak lain dan tidak bukan, bahawa engkau
adalah pendusta belaka.”
Nuh berkata,
menjawab ejekan dan olok-olokan kaumnya:
“Adakah
engkau mengira bahwa aku dapat memaksa kamu mengikuti ajaranku atau mengira
bahwa aku mempunyai kekuasaan untuk menjadikan kamu orang-orang yang beriman
jika kamu tetap menolak ajakan ku dan tetap membuta-tuli terhadap bukti-bukti
kebenaran dakwahku dan tetap mempertahankan pendirianmu yang tersesat yang
diilhamkan oleh kesombongan dan kecongkakan karena kedudukan dan harta-benda
yang kamu miliki.Aku hanya seorang manusia yang mendapat amanah dan diberi
tugas oleh Allah untuk menyampaikan risalah-Nya kepada kamu. Jika kamu tetap
berkeras kepala dan tidak mahu kembali ke jalan yang benar dan menerima agama
Allah yang diutuskan-Nya kepada ku maka terserahlah kepada Allah untuk
menentukan hukuman-Nya dan ganjaran-Nya keatas diri kamu. Aku hanya pesuruh dan
rasul-Nya yang diperintahkan untuk menyampaikan amanah-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Dialah yang berkuasa memberi hidayah kepadamu dan mengampuni
dosamu atau menurunkan azab dan siksaan-Nya di atas kamu sekalian jika Ia
kehendaki.Dialah pula yang berkuasa menurunkan seksa dan azab-nya di dunia atau
menangguhkannya sampai hari kemudian. Dialah Tuhan pencipta alam semesta ini,
Maha Kuasa ,Maha Mengetahui, maha pengasih dan Maha Penyayang.”.
Kaum
Nuh mengemukakan syarat dengan berkata:
“Wahai
Nuh! Jika engkau menghendaki kami mengikutimu dan memberi sokongan dan semangat
kepada kamu dan kepada agama yang engkau bawa, maka jauhkanlah para pengikutmu
yang terdiri dari orang-orang petani, buruh dan hamba-hamba sahaya itu. Usirlah
mereka dari pengaulanmu karena kami tidak dapat bergaul dengan mereka duduk
berdampingan dengan mereka mengikut cara hidup mereka dan bergabung dengan
mereka dalam suatu agama dan kepercayaan. Dan bagaimana kami dapat menerima
satu agama yang menyamaratakan para bangsawan dengan orang awam, penguasa dan
pembesar dengan buruh-buruhnya dan orang kaya yang berkedudukan dengan orang
yang miskin dan papa.”
Nabi
Nuh menolak pensyaratan kaumnya dan berkata:
“Risalah
dan agama yang aku bawa adalah untuk semua orang tiada pengecualian, yang
pandai mahupun yang bodoh, yang kaya mahupun miskin, majikan ataupun buruh
,diantara penguasa dan rakyat biasa semuanya mempunyai kedudukan dan tempat
yang sama terhadap agama dan hukum Allah. Andai kata aku memenuhi pensyaratan
kamu dan meluluskan keinginanmu menyingkirkan para pengikutku yang setia itu,
maka siapakah yang dapat ku harapkan akan meneruskan dakwahku kepada orang
ramai dan bagaimana aku sampai hati menjauhkan daripadaku orang-orang yang
telah beriman dan menerima dakwahku dengan penuh keyakinan dan keikhlasan di
kala kamu menolaknya serta mengingkarinya, orang-orang yang telah membantuku
dalam tugasku di kala kamu menghalangi usahaku dan merintangi dakwahku. Dan
bagaimanakah aku dapat mempertanggungjawabkan tindakan pengusiranku kepada
mereka terhadap Allah bila mereka mengadu bahwa aku telah membalas kesetiaan
dan ketaatan mereka dengan sebaliknya semata-mata untuk memenuhi permintaanmu
dan tunduk kepada pensyaratanmu yang tidak wajar dan tidak dpt diterima oleh
akal dan fikiran yang sehat. Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang bodoh
dan tidak berfikiran sehat.
Pada
akhirnya, karena merasa tidak berdaya lagi mengingkari kebenaran kata-kata Nabi
Nuh dan merasa kehabisan alasan dan hujjah untuk melanjutkan dialog dengan
beliau, maka berkatalah mereka: “Wahai Nabi Nuh! Kita telah banyak bermujadalah
dan berdebat dan cukup berdialog serta mendengar dakwahmu yang sudah menjemukan
itu. Kami tetap tidak akan mengikutimu dan tidak akan sesekali melepaskan
kepercayaan dan adat-istiadat kami sehingga tidak ada gunanya lagi engkau
mengulang-ulangi dakwah dan ajakanmu dan bertegang lidah dengan kami.
Datangkanlah apa yang engkau benar-benar orang yang menepati janji dan
kata-katanya. Kami ingin melihat kebenaran kata-katamu dan ancamanmu dalam
kenyataan. Karena kami masih tetap belum mempercayaimu dan tetap meragukan
dakwahmu.”
Nabi
Nuh berputus asa dari kaumnya
Nabi Nuh
berada di tengah-tengah kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun
berdakwah menyampaikan risalah Tuhan, mengajak mereka meninggalkan penyembahan
berhala dan kembali menyembah dan beribadah kepada Allah Yang maha Kuasa
memimpin mereka keluar dari jalan yang sesat dan gelap ke jalan yang benar dan
terang, mengajar mereka hukum-hukum syariat dan agama yang diwahyukan oleh
Allah kepadanya, mengangkat darjat manusia yang tertindas dan lemah ke tingkat
yang sesuai dengan fitrah dan qudratnya dan berusaha menghilangkan sifat-sifat
sombong dan congkak yang melekat pada para pembesar kaumnya dan medidik agar
mereka berkasih sayang, tolong-menolong diantara sesama manusia. Akan tetapi
dalam waktu yang cukup lama itu, Nabi Nuh tidak berhasil menyadarkan dan
menarik kaumnya untuk mengikuti dan menerima dakwahnya beriman, bertauhid dan
beribadat kepada Allah kecuali sekelompok kecil kaumnya yang tidak mencapai
seramai seratus orang, walaupun ia telah melakukan tugasnya dengan segala
daya-usahanya dan sekuat tenaganya dengan penuh kesabaran dan kesulitan
menghadapi penghinaan, ejekan dan cercaan makian kaumnya, karena ia
mengharapkan akan datang masanya di mana kaumnya akan sedar diri dan datang
mengakui kebenarannya dan kebenaran dakwahnya. Harapan Nabi Nuh akan kesedaran
kaumnya ternyata makin hari makin berkurangan dan bahwa sinar iman dan takwa
tidak akan menebus ke dalam hati mereka yang telah tertutup rapat oleh ajaran
dan bisikan Iblis. Hal mana Nabi Nuh berupa berfirman Allah yang bermaksud:
“Sesungguhnya
tidak akan seorang daripada kaumnya mengikutimu dan beriman kecuali mereka yang
telah mengikutimu dan beriman lebih dahulu, maka janganlah engkau bersedih hati
karena apa yang mereka perbuatkan.” Dengan penegasan firman Allah itu,
lenyaplah sisa harapan Nabi Nuh dari kaumnya dan habislah kesabarannya. Ia
memohon kepada Allah agar menurunkan Azab-Nya di atas kaumnya yang berkepala
batu seraya berseru:”Ya Allah! Janganlah Engkau biarkan seorang pun daripada
orang-orang kafir itu hidup dan tinggal di atas bumi ini. Mareka akan berusaha
menyesatkan hamba-hamba-Mu, jika Engkau biarkan mereka tinggal dan mereka tidak
akan melahirkan dan menurunkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan
anak-anak yang kafir seperti mereka.”
Doa Nabi
Nuh dikabulkan oleh Allah dan permohonannya diluluskan dan tidak perlu lagi
menghiraukan dan mempersoalkan kaumnya, karena mereka itu akan menerima hukuman
Allah dengan mati tenggelam.
Nabi
Nuh membuat kapal
Setelah
menerima perintah Allah untuk membuat sebuah kapal, segeralah Nabi Nuh
mengumpulkan para pengikutnya dan mulai mereka mengumpulkan bahan yang
diperlukan untuk maksud tersebut, kemudian dengan mengambil tempat di luar dan
agak jauh dari kota dan keramaiannya mereka dengan rajin dan tekun bekerja
siang dan malam menyelesaikan pembinaan kapal yang diperintahkan itu. Walaupun
Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakatnya, agar dapat bekerja dengan
tenang tanpa gangguan bagi menyelesaikan pembinaan kapalnya namun ia tidak
luput dari ejekan dan cemuhan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melalui
tempat kerja membina kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan
mengatakan: “Wahai Nuh! Sejak kapankau telah menjadi tukang kayu dan pembuat
kapal?Bukankah engkau seorang nabi dan rasul menurut pengakuanmu, kenapa
sekarang menjadi seorang tukang kayu dan pembuat kapal.Dan kapal yang engkau
buat itu di tempat yang jauh dari air ini adalah maksudmu untuk ditarik oleh
kerbau ataukah mengharapkan angin yang akan menarik kapalmu ke laut?”Dan
lain-lain kata ejekan yang diterima oleh Nabi Nuh dengan sikap dingin dan
tersenyum seraya menjawab:”Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu
sekarang mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibalah masanya kelak bagi
kami untuk mengejek kamu dan akan kamu ketahui kelak untuk apa kapal yang kami
siapkan ini.Tunggulah saatnya azab dan hukuman Allah menimpa atas diri kamu.”
Setelah
selesai pekerjaan pembuatan kapal yang merupakan alat pengangkutan laut pertama
di dunia, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah:”Siap-siaplah engkau dengan
kapalmu, bila tiba perintah-Ku dan terlihat tanda-tanda daripada-Ku maka
segeralah angkut bersamamu di dalam kapalmu dan kerabatmu dan bawalah dua
pasang dari setiap jenis makhluk yang ada di atas bumi dan belayarlah dengan
izin-Ku.” Kemudian tercurahlah dari langit dan memancur dari bumi air yang
deras dan dahsyat yang dalam sekejap mata telah menjadi banjir besar melanda
seluruh kota dan desa menggenangi daratan yang rendah maupun yang tinggi
sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tiada tempat berlindung dari air
bah yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan para
orang mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah
Allah.
Dengan
iringan “Bismillahi majraha wa mursaha” belayarlah kapal Nabi Nuh dengan
lajunya menyusuri lautan air, menentang angin yang kadang kala lemah lembut dan
kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihatlah orang-orang kafir
bergelut melawan gelombang air yang menggunung berusaha menyelamat diri dari cengkaman
maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang itu.
Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal memperhatikan cuaca dan
melihat-lihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang bergelimpangan di atas
permukaan air, tiba-tiba terlihatlah olehnya tubuh putera sulungnya yang
bernama “Kan’aan” timbul tenggelam dipermainkan oleh gelombang yang tidak
menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang menerima hukuman Allah
itu. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang
seorang ayah terhadap putera kandungnya yang berada dalam keadaan cemas
menghadapi maut ditelan gelombang.
Nabi Nuh
secara spontan, terdorong oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat
suaranya memanggil puteranya:Wahai anakku! Datanglah kemari dan gabungkan
dirimu bersama keluargamu. Bertaubatlah engkau dan berimanlah kepada Allah agar
engkau selamat dan terhindar dari bahaya maut yang engkau menjalani hukuman
Allah.” Kan’aan, putera Nabi Nuh, yang tersesat dan telah terkena rayuan
syaitan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan
keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata yang
menentang:”Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung
di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku sendiri dengan
berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah ini.”
Nuh
menjawab:”Percayalah bahawa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau
ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. Masa tidak akan ada yang dapat
melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali
orang-orang yang memperolehi rahmat dan keampunan-Nya.” Setelah Nabi Nuh
mengucapkan kata-katanya tenggelamlah Kan’aan disambar gelombang yang ganas dan
lenyaplah ia dari pandangan mata ayahnya, tergelincirlah ke bawah lautan air
mengikut kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.
Nabi Nuh
bersedih hati dan berdukacita atas kematian puteranya dalam keadaan kafir tidak
beriman dan belum mengenal Allah. Beliau berkeluh-kesah dan berseru kepada
Allah:”Ya Tuhanku, sesungguhnya puteraku itu adalah darah dagingku dan adalah
bahagian dari keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji benar dan
Engkaulah Maha Hakim yang Maha Berkuasa.”Kepadanya Allah berfirman:”Wahai Nuh!
Sesungguhnya dia puteramu itu tidaklah termasuk keluargamu, karena ia telah
menyimpang dari ajaranmu, melanggar perintahmu menolak dakwahmu dan mengikuti
jejak orang-orang yang kafir daripada kaummu.Coretlah namanya dari daftar
keluargamu.Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu mengikuti jalan mu dan
beriman kepada-Ku dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan
keluargamu yang telah Aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan
jiwanya.Adapun orang-orang yang mengingkari risalah mu, mendustakan dakwahmu
dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntutan Iblis, pastilah mereka akan
binasa menjalani hukuman yang telah Aku tentukan walau mereka berada dipuncak
gunung. Maka janganlah engkau sesekali menanyakan tentang sesuatu yang engkau
belum ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan
orang-orang yang bodoh.”
Nabi Nuh
sadar segera setelah menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya
kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap
orang-orang kafir termasuk puteranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada
saat ia memanggil puteranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang
didorong oleh perasaan naluri darah yang menghubungkannya dengan puteranya
padahal sepatutnya cinta dan taat kepada Allah harus mendahului cinta kepada
keluarga dan harta-benda. Ia sangat sesalkan kelalaian dan kealpaannya itu dan
menghadap kepada Allah memohon ampun dan maghfirahnya dengan berseru:”Ya
Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari godaan syaitan yang terlaknat, ampunilah
kelalaian dan kealpaanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak
mengetahuinya. Ya Tuhanku bila Engkau tidak memberi ampun dan maghfirah serta
menurunkan rahmat bagiku, nescaya aku menjadi orang yang rugi.”
Setelah
air bah itu mencapai puncak keganasannya dan habis binasalah kaum Nuh yang
kafir dan zalim sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, surutlah lautan air
diserap bumi kemudian bertambatlah kapal Nuh di atas bukit ” Judie ” dengan
iringan perintah Allah kepada Nabi Nuh:”Turunlah wahai Nuh ke darat engkau dan
para mukmin yang menyertaimu dengan selamat dilimpahi barakah dan inayah dari
sisi-Ku bagimu dan bagi umat yang menyertaimu.”
Zaman
Antediluvian
Perkataan
Antedulivian adalah satu perkataan yang diambil dari perkataan Latin
(syn.Prediluvian) yang bermaksud “Sebelum Banjir Besar” seperti yang terdapat
dalam Injil. Perkataan ini merujuk zaman manusia yang hidup sebelum kejadian
banjir besar pada ketika zaman Nabi Nuh.
Penulis
seperti William Whiston (A New Theory of the Earth 1696) dan Henry Morris (The
Genesis Flood 1961) menggambarkan zaman antediluvian adalah seperti berikut:
* Umur seseorang manusia adalah lebih
panjang dari umur manusia hari ini yaitu sekitar 700-950 tahun, seperti yang
ditulis dalam Genealogies of Genesis.
* Jumlah populasi manusia pada ketika
itu adalah lebih ramai berbanding pada tahun 1696 . Perkiraan Whiston
menggambarkan lebih kurang 500 juta manusia berkemungkinan telah lahir dalam zaman
antediluvian, berdasarkan jangka hayat yang panjang dan fertility rates.
* Tidak wujud awan dan hujan. Muka
bumi hanya menerima air dari embun yang terhasil dari proses penguapan dan
sejatan siang dan malam. Lautan dan sungai pulamemang telah semula jadi
wujud dan menjadi sumber kahidupan harian manusia.
Gambaran
dari Injil (New Testament) juga mengatakan wujudnya makhluk-makhluk pelik dan
ajaib seperti gergasi, manusia berkepak burung (Nephilim) dan beberapa jenis
makhluk yang tidak tergambar oleh fikiran manusia hari ini. Tetapi kesemunya
telah musnah ditelan gelombang dan arus dari banjir besar. Apa yang dapat kita
lihat hari ini hanyalah makhluk dan binatang yang telah naik ke kapal Nabi Nuh.
Kisah
Nabi Nuh dalam Al-Quran
Al-Quran
menceritakan kisah Nabi Nuh dalam 43 ayat dari 28 surah di antaranya surah Nuh
dari ayat 1 sehinga 28, juga dalam surah “Hud” ayat 27 sehingga 48 yang
mengisahkan dialog Nabi Nuh dengan kaumnya dan perintah pembuatan kapal serta
keadaan banjir yang menimpa di atas mereka.
Pengajaran
dari Kisah Nabi Nuh
Bahawasanya
hubungan antara manusia yang terjalin karena ikatan persamaan kepercayaan atau
penamaan aqidah dan pendirian adalah lebih erat dan lebih berkesan daripada
hubungan yang terjalin karena ikatan darah atau kelahiran. Kan’aan yang
walaupun ia adalah anak kandung Nabi Nuh, oleh Allah s.w.t. dikeluarkan dari
bilangan keluarga ayahnya karena ia menganut kepercayaan dan agama berlainan
dengan apa yang dianut dan didakwahkan oleh ayahnya sendiri, bahkan ia berada
di pihak yang memusuhi dan menentangnya.
Maka
dalam pengertian inilah dapat difahami firman Allah dalam Al-Quran yang
bermaksud:”Sesungguhnya para mukmin itu adalah bersaudara.” Demikian pula hadis
Rasulullah s.a.w.yang bermaksud:”Tidaklah sempurna iman seseorang kecuali jika
ia menyintai saudaranya yang beriman sebagaimana ia menyintai dirinya
sendiri.”Juga peribahasa yang berbunyi:”Adakalanya engkau memperolehi seorang
saudara yang tidak dilahirkan oleh ibumu.”
================================================
Isteri Nabi Nuh Menempuh Jalan Kesesatan
“Allah
membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar:
Isteri
Nuh dan isteri Luth, mereka adalah isteri dua orang hamba di antara hamba-hamba
Kami yang soleh. Tapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya).
Maka,
mereka tiada berdaya membantu mereka sedikit pun terhadap seksaan Allah.
Kepada
mereka dikatakan: “Masuklah kamu ke dalam neraka Jahannam bersama orang yang
masuk ( ke dalamnya)!” (At-Tahrim: 10)
Seorang
wanita bangun dari tidurnya, dan langsung menuju dapur untuk membuat makanan
dan kueh-kueh. Setelah semua pekerjaan itu selesai, ia segera keluar rumah
tanpa memberitahu suaminya, Nabi Nuh. Sebelum
pintu rumahnya terbuka, tiba-tiba anak-anaknya yang masih muda,Kan’an,
menegurnya: “Mahu ke mana Ibu pagi-pagi ini?”
Ibu
mengisyaratkan sesuatu agar anaknya merendahkan suara, supaya tidak terdengar
oleh orang lain.Lalu berkata: “Lupakah
kamu, Kan’an, bahwa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita? Aku akan pergi
ke Makbad Besar. Di sana kaum kita telah menunggu untuk bersama-sama
melaksanakan penyembahan kepada tuhan yang telah memberi rezeki dan menolong
kita.”
Kan’an
memandang ibunya dengan wajah tersenyum, dan kemudian berkata: “Ibu berbuat
yang terbaik. Nanti aku akan menyusul ke sana, sebab bukankah ibu tahu bahwa
ayah tidak senang melihat kita bekerjasama dalam hal ini.”
Pergilah
isteri Nuh ke Makbad Besar itu. Sesampainya di sana, ia segera berdiri di depan
berhala dan berucap: “Wed,
Suwa, Yaghuts ya’uq, dan Masr…” (nama-nama, berhala) la kemudian memohon,
berdoa, mendekatkan diri, dan mempersembahkan makanan serta minuman bagi para
penjaga yang mulai menyuarakan kalimat-kalimat yang tidak dapat difahami
maksudnya. Kemudian mereka menunjukkan kepada tuhan-tuhan,dan sekali lagi
menunjuk kepada orang-orang yang mempersembahkan korban dan mengangkat wajah
mereka dengan mata terpejam, agar orang yang mempersembahkan korban itu merasa
bahwa Tuhan senang dan rela kepada mereka.
Isteri
Nabi Nuh melihat, dan ia dapati puteranya Kan’an, telah keluar dari ruangan
sembahan menuju arena tarian di sebelah Makbad. Di tempat itu, kaum lelaki dan
perempuan bercampur menjadi satu; melakukan perbuatan-perbuatan sesuka hati
mereka sambil bersukaria. Melihat itu, sang ibu merasa cemas dan khuatir
terhadap keadaan anaknya. Diserunya Kan’an agar kembali kepadanya, tetapi
Kan’an malah bersembunyi di tengah-tengah keramaian itu tatkala ia mendengar
panggilan ibunya. Karena Kan’an tidak kembali setelah lama dipanggil, sang ibu
segera kembali menuju berhala-berhala dan mulai berdoa lagi.Ia tidak ingin
menyibukkan diri dengan urusan anaknya itu. Sambil berdoa, ia mengeluarkan
secarik kain yang telah disapu wangi-wangian dari bungkusannya, dan kemudian diletakkannya
di kaki berhala. Itulah pekerjaan yang biasa dilakukannya.
Waktu
berlalu dengan cepat, dan upacara penyembahan akhirnya selesai. Isteri Nabi Nuh
kemudian kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan
anaknya, Kan’an, yang wajahnya tampak masam air mukanya. Cepat-cepat ia
mendekati anaknya itu dan berkata: “Apa yang
sedang kamu fikirkan, Puteraku?”
“Tahukah
ibu, apa yang telah dilakukan Nuh, ayahku?” Kata Kan’an.
“Apa yang
ia perbuat, Kan’an?” Tanya ibunya dengan wajah penuh kesedihan.
“Ia
menyeru umat di pasar, dan orang-orang di sekelilingnya, dan membantah apa yang
diserukan mereka!” Jawab Kan’an.
“Apa yang
telah dilakukannya di pasar?” Tanya ibunya kemudian! Apakah ia hendak menjual
kayu-kayu yang ia jadikan perkakas rumah?”
Anaknya
menjawab: “Aku telah mendengar bahwa ia berkata: `Hai,kaumku, sesungguhnya aku
adalah pemberi peringatan yang nyata bagimu; maka sembahlah Allah, bertakwalah
dan taatlah kepadaNya.”
Isteri
Nabi Nuh memandang Kan’an seraya berkata: “Kalau begitu, ayahmu tidak
menghendaki kita menyembah tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara
kita.”
“Sesungguhnya
ia benci akan hal itu dan bahkah menghinanya. Ia tidak pernah bersedia
mempersembahkan korban kepada tuhan-tuhan yang biasa kita lakukan,” jawab
Kan’an.
Isteri
Nuh dan anaknya pulang ke rumah. Sepanjang jalan keduanya lebih banyak membisu.
Tetapi kemudian Kan’an memecahkan kesunyian itu dengan bertanya: “Apakah yang akan kita lakukan ibu,
bila ayah menyeru kita seperti yang ia serukan kepada kaum negeri ini?”
“Tuhan-tuhan
akan mengutukmu, Kan’an, jika engkau turuti seruan ayahmu itu!” Jawab ibunya.
“Apakah kita akan meninggalkan agama kita dan agama nenek moyang kita hanya
karena ayahmu menyerukan yang lain? Tidak! Sesungguhnya hal itu tidak boleh
terjadi!”
Sebelum
tengah malam tiba, Nabi Nuh telah sampai di rumahnya. Semalaman isteri dan anak
Nuh tidak dapat memejamkan mata. Nabi Nuh meletakkan tongkatnya di dinding
rumahnya, kemudian duduk. Tidak lama, isterinya mendekati dan berkata: “Mengapa
engkau terlambat pulang sampai larut malam?”
“Aku
mesti menyampaikan risalah yang diperintahkan Allah kepadaku.” Jawab Nabi Nuh.
“Risalah
apakah itu, Nuh?” Tanya isterinya.
Nabi Nuh
menjawab: “Agar manusia menyembah Tuhannya dan meninggalkan penyembahan kepada
berhala-berhala.” “Kamu
telah bertahun-tahun hidup bersama kami,” sahut isterinya kemudian. “Tetapi
kini kamu berselisih dengan apa yang disembah oleh kaummu. Maka, bagaimanakah
mereka akan percaya kepadamu, yang tiba-tiba mengatakan bahwa Allah telah
mengutusmu kepada mereka dengan membawa suatu risalah dan menyeru mereka untuk
meninggalkan sembahannya?”
Nabi Nuh
menjawab:
“Allah
telah memilihku untuk menjalankan tugas ini bila saja Dia kehendaki. Kumpulkan
ke mari anak-anak kita, aku akan menunjukkan kepada mereka tentang risalah yang
kubawa ini,sebagaimana yang telah kuserukan kepada manusia!”
Isteri
Nuh tidak bergerak dari tempatnya, sementara anaknya Kan’an, telah duduk di
sampingnya.
Ia
kemudian berkata kepada Nabi Nuh: “Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu
sampai datang waktu pagi!”
Kalau
begitu, aku akan menyampaikan masalah ini kepada kalian berdua lebih dahulu.”
“Mengapa
kamu tergesa-gesa dalam urusan ini, tidurlah sampai esok pagi!” Sahut
isterinya.
“Tidak!”
Kata Nabi Nuh. “Aku harus melaksanakan tanggungjawabku terhadap Allah.
Sesungguhnya kamu berdua adalah ahli baitku, dan aku harus menjadi orang yang
menyeru kamu berdua pertama kali. Bersaksilah bahwa Allah itu satu, tidak ada
sekutu bagi-Nya dan tinggalkanlah semua yang kamu sembah kecuali Allah.”
Mendengar
itu Kan’an melihat ke arah ayah dan ibunya. Sang ibu pula memandang kepadanya
seraya mengangguk dan berkata: “Kami
tidak akan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kami dan tuhan-tuhan kaum kami
semua.” Dan Kan’an
pula berkata, setelah, mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya itu: “Wahai,
ayah, kulihat ayah menolak ucapannya.”
Nabi Nuh
menjawab:
“Tidak
mungkin aku akan meninggalkan risalah yang dibebankan oleh Allah kepadaku untuk
kusampaikan kepada umat manusia? Kamu berdua terus-menerus menyembah batu dan
kayu yang tidak dapat mendatangkan mudarat ataupun manfaat; dan kamu enggan
menyembah Tuhan yang Maha Esa lagi Berkuasa.”
Mendengar
perdebatan itu, anak-anak Nabi Nuh yang lain terbangun dari tidurnya. Mereka
semua bangun dan menghampiri ketiga orang itu, untuk mengetahui masalah yang
sebenarnya terjadi.
Melihat
itu sang ibu segera berkata kepada mereka semua.
“Ayahmu
menghendaki agar kita meninggalkan tuhan-tuhan yang biasa kita sembah untuk
kita menyembah tuhannya yang ia katakan telah mengutusnya untuk membimbing
manusia.”
“Siapakah
Tuhanmu itu, ayah?” Tanya anak-anak Nabi Nuh kepada ayah mereka.
“Dia
adalah Pencipta langit dan bumi serta semua makhluk yang ada di atas alam ini.
Dialah yang memberi rezeki, mematikan semua manusia di hari perhitungan
(kiamat),” jawab Nabi Nuh.
“Di
manakah Dia berada,Ayah? Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan
yang biasa kami sembah?” Tanya salah seorang di antara anak-anak Nabi Nuh.
“Anak-anakku,”
kata Nabi Nuh:
“Sesungguhnya
Allah tidak dibatasi oleh ruang atau waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu
itu sendiri. Dia tidak dapat dilihat oleh mata kita.”
“Jika
demikian, bagaimana kita mengetahui bahwa Dia ada?” Tanya yang lain.
Nabi Nuh
menjawab:
“Dari
tanda-tanda kekuasaan-Nya atas segala sesuatu dari ciptaan-Nya dan
pengadaan-Nya, dari langit yang ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang
dihamparkan-Nya dan di dalamnya terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan
yang tercurah dari langit dan menumbuhkan tanaman yang memberikan sumber rezeki
manusia dan haiwan-haiwan; dan dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan
mematikan mereka; yang semua itu ada di hadapan kita.”
Mendengar
itu, anak-anak Nabi Nuh serentak berkata:
“Allah
telah melapangkan hati kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan.”
Betapa
terperanjatnya hati isteri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan terus terang
anak-anaknya akan risalah yang diserukan Nabi Nuh. Ia segera bangkit dari
duduknya dan menghampiri Kan’an, sambilberkata kepada suaminya.
“Telah
rosak akal anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutuk dan
menurunkan seksa kepadamu!”
Ketika
wajah anak-anak mereka menampakkan kehairanan Nabi Nuh menjawab:
“Nanti
kamu akan mengetahui bahwa berhala-hala itu tidak berkuasa memberikan manfaat
dan tidak kuasa pula menolak kemudaratan atas dirinya. Bagaimana ia akan
berkuasa berbuat sesuatu kepada yang lain?”
Isteri
Nabi Nuh tidak berhenti dalam usaha menghalang-halangi dakwah kebajikan yang
diserukan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya. Setiap datangnya jiran ( setiap) tetangga
yang hendak beriman kepada ajaran Nabi Nuh, dan meminta pendapat isteri Nabi
Nuh dalam hal itu, isteri Nabi Nuh selalu mencadangkan orang-orang itu agar
tidak mengikuti seruan suaminya.
Bahkan ia
berkata kepada mereka:
“Sekiranya
seruan Nuh itu baik, nescaya aku dan anakku, Kan’an mengikutinya.”
Dengan
Jawapan isteri Nabi Nuh itu, pulanglah para tetangga itu dengan hati yang
yakin, dan hilanglah keraguan terhadap tuhan-tuhan yang biasa mereka sembuh.
Beberapa
tahun telah berlalu, dan isteri Nabi Nuh bukannya semakin condong kepada ajaran
suaminya. Rasa pertentangannya dengan Nabi Nuh bahkan semakin besar dan kuat.
Bersama berlalunya waktu, isteri Nabi Nuh semakin berpaling dari seruan
kebenaran yang disampaikan oleh suaminya.
Ia
berkata kepada Nabi Nuh:
“Tidak
ada yang mengikutimu kecuali hanya beberapa orang miskin. Sekiranya bukan
karena kemiskinan yang mereka derita, nescaya mereka tidak akan mengikutimu.
Bukankah hal ini cukup menjadi bukti bagimu bahwa seruanmu itu batil? Semua
orang memperolok-olokkanmu. Maka sebaiknya kamu hentikan seruanmu itu kepada
manusia….”
Meskipun
demikian, Nabi Nuh tetap berjalan di atas kebenaran Ilahi yang menuntut kepada
kebajikan. Ia pikul semua penderitaan dan kejahatan orang yang merintanginya
untuk menyampaikan risalah Tuhannya, meskipun bertahun-tahun jumlah kaum
mukminin tidak lebih dari seratus orang.
Nabi Nuh
selalu berdoa kepada Allah:
“Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku
itu hanya membuat mereka lari dan semakin menjauh.Dan sungguh, setiap kali aku
menyeru mereka agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari ke
dalam telinganya dan menutup dirinya dengan pakaiannya dan mereka tetap ingkar
dan menyombongkan diri dengan keangkuhan. Kemudian kuseru mereka dengan
terang-terangan. Dan berbicara kepada mereka di halayak ramai, dan juga dengan
diam-diam. Maka, aku katakan kepada mereka:
“Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sungguh, Dia MahaPengampun. Nescaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai
untukmu. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal
sesungguhnya……Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkat kejadian?
Tidakkah
kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit
bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya, dan
menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah
dengan sebaik-baiknya, kemudian dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan
mengeluarkan kamu (darinya pada hari (kiamat) dengan sebenar-benarnya?
“Dan
Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan supaya kamu melalui jalan-jalan
yang luas di bumi itu?”
Nuh
berkata:
“Ya,
Tuhanku, sesungguhnya mereka telah menderhakaiku,dan telah mengikuti
orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan
kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar.”
Dan
mereka berkata:
“Jangan
sekali-kali kamu meninggalkan(penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa, Yaghuts,
Ya’uq, dan Nasr.”
“Dan
sesungguhnya mereka (sembahan-sembahan berhala) telah menyesatkan orang ramai.
Maka, janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain
kesesatan.”
(Lihat
surah Nuh ayat 5-24)
Allah
memerintahkan Nabi Nuh membuat sebuah bahtera. Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh
melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh para pengikutnya agar
meletakkan
kayu-kayu
itu di tengah-tengah kota, padahal kota itu jauh dari laut dan sungai. Maka, bertanyalah sang
isteri kepada suaminya. “Apakah yang akan engkau perbuat dengan semua kayu ini,
Nuh?”
“Aku akan
membuat sebuah bahtera,” jawab Nabi Nuh.
“Mengapa
engkau membuat bahtera, sedangkan di sini tidak ada lautan atau sungai yang
dapat melayarkannya?” Tanya isteri Nabi Nuh.
Nabi Nuh
menjawab: “Bahtera ini akan belayar ketika datang perintah Allah.”
Kembali
isteri Nabi Nuh menyanggahnya: “Bagaimana orang yang berakal akan percaya
dengan ungkapanmu itu?”
“Nanti
engkau akan melihat bahwa hal itu akan terjadi,” kata NabiNuh.
Setelah
beberapa langkah isteri Nabi Nuh meninggalkan tempat itu, ia masih sempat
bertanya sekali lagi: “Apakah bahtera ini akan berlayar di atas pasir?”
Nabi Nuh
menjawab dengan penuh keyakinan: “Tidak! Tetapi banjir akan menenggelamkan bumi
dan orang-orang yang menentang kami, dan kaum mukminin akan selamat di atas
bahtera…”
Maka,
pergilah isteri Nabi Nuh untuk menyelesaikan urusannya. Dia tidak percaya
sedikit pun pada apa yang dikatakan suaminya itu.Walaupun begitu, ia sebenarnya
merasa hairan kepada berita yang disampaikan oleh Nabi Nuh.
Ia
bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. “Nanti akan engkau saksikan, apakah Nabi
Nuh akan membiarkanmu berlayar bersamanya di atas bahtera!” Belum selesai ia memikirkan hal yang
menghantui fikirannya itu,terdengar suara Kan’an memanggilnya. “Apakah bahtera
itu, ibu?”
Maka,
ibunya mengisahkan peristiwa dialog antara dirinya dan Nuh, dan mengkhabarkan
pula kepada Kan’an bahwa ayahnya akan membuat sebuah bahtera di tengah kota.
Kan’an nyaris tidak mendengar semua cerita ibunya, karena ia menjadi tertawa
terbahak-bahak tiada henti.
Kemudian
ia berkata: “Kalau begitu, benar apa yang dikatakan orang tentang ayahku!”