Jumlah
Raka’at Shalat Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah
raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13
raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah
jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat
lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Ibnu
‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ
صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى
بِاللَّيْلِ
“Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR.
Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat
malam yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at.
Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam,
sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy
Syamilah)
Bolehkah
Menambah Raka’at Shalat Tarawih Lebih Dari 11 Raka’at?
Mayoritas
ulama terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at
dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu
‘Abdil Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan
jumlah raka’at tertentu. Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan),
termasuk amalan dan perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit
raka’at. Siapa yang mau juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ
أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan
tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Yang
membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ
اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat
malam adalah dua raka’at dua raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh,
lakukanlah shalat witir satu raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَأَعِنِّى
عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah
aku (untuk mewujudkan cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR.
Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَإِنَّكَ
لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ
عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya
engkau tidaklah melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan
meninggikan satu derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim
no. 488)
Dari
dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih
shalat tarawih dengan 11 atau 13 raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga
dalil di atas.
Alasan
pertama, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengkhususkan
ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam ilmu ushul.
Alasan
kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang menambah lebih dari
11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Shalat malam di bulan
Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
bilangan tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari 13
raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang panjang.
…Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki
bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau
lakukan,.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan
ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat
untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini
diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan
shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian.
Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah
disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum
tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada
pertentangan.
Kelima,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan shalat malam dengan bacaan
yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan satu raka’at begitu lama.
Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat tarawih dikerjakan dua puluh
raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam Ramadhan, namun dengan bacaan
yang ringan.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay
bin Ka’ab sebagai imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian
melaksanakan witir sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap
raka’at lebih ringan dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan
semacam ini lebih ringan bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan
bacaan yang begitu panjang.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Keenam, telah
terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan
manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari
ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21
raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya
berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no.
7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat
Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu
juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih
sebanyak 11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar
bin Al Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan
shalat tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan
ayat, sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami
selesai hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya
shahih. Lihat Shahih Fiqih Sunnah 1/418)
Berbagai
Pendapat Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi,
shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah
raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat
pertama, yang membatasi hanya sebelas
raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut
Tarawaih.
Pendapat
kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at
(belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al
Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan
sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al
Kasaani mengatakan, “‘Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam
Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu
shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang
mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para
sahabat.”
Ad
Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang
menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu
‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di
timur dan barat.”
‘Ali As
Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan
terus menerus dilakukan hingga sekarang ini.”
Al
Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan
dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan
sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat
ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at
dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari
riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih.
(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat
keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at
dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin
Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan
Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan
bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil
Iqna’, 3/267)
Kesimpulan
dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, “Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan.
Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu
sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai
dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan
raka’at-raka’at yang panjang,
maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan
10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana
hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan
Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Yang
Paling Bagus adalah yang Panjang Bacaannya
Setelah
penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23
raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun berdirinya agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih
dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh
mayoritas ulama.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik
shalat adalah yang lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu
Hurairah, beliau berkata,
عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ
مُخْتَصِرًا
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam
kitab beliau Bulughul Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian
ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat
yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’
dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3,
Asy Syamilah)
Oleh
karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan,
bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula
shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini
sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh
khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi
taufik dan hidayah.
Salam
Setiap Dua Raka’at
Para
pakar fiqih berpendapat bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua
raka’at. Karena tarawih termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan
dengan dua raka’at salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
صَلاَةُ
اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat
malam adalah dua raka’at dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama
Malikiyah mengatakan, “Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk
melakukan salam setiap dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga
empat raka’at. … Yang lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat
Tiap Selesai Empat Raka’at
Para
ulama sepakat tentang disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat
tarawih empat raka’at. Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para
salaf. Namun tidak mengapa kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak
disyariatkan untuk membaca do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah
pendapat yang benar dalam madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Dasar
dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ
يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah
tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan
shalat 4 raka’at lagi, maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang
raka’atnya.” (HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai
catatan penting, tidaklah disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a
tertentu ketika istirahat setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih,
sebagaimana hal ini dilakukan sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang
mungkin saja belum mengetahui bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran
Islam. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama
Hambali mengatakan, “Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat
raka’at shalat tarawih ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a
tertentu ketika waktu istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang
menunjukkan hal ini.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639)
Surat
yang Dibaca Ketika Shalat Tarawih
Tidak ada
riwayat mengenai bacaan surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda
sesuai dengan keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai
membuat jama’ah bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan
bacaan surat yang panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat
yang telah kami sebutkan.
Ada
anjuran dari sebagian ulama semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk
mengkhatamkan Al Qur’an di bulan Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat
mendengar seluruh Al Qur’an ketika melaksanakan shalat tarawih.
Kesalahan-Kesalahan
Dalam Shalat Tarawih
Menyeru
Jama’ah dengan “Ash Sholaatul Jaami’ah”. Ulama-ulama hanabilah berpendapat
bahwa tidak ada ucapan untuk memanggil jama’ah dengan ucapan “Ash Sholaatul
Jaami’ah”. Menurut mereka, ini termasuk perkara yang diada-adakan (baca:
bid’ah). (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 2/9634)
Dzikir
Jama’ah dengan Dikomandoi. Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah tatkala
menjelaskan mengenai dzikir setelah shalat mengatakan, “Tidak diperbolehkan
para jama’ah membaca dizkir secara berjama’ah. Akan tetapi yang tepat adalah
setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dikomandai oleh yang lain.
Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada
tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz,
11/189).
Meninggalkan
shalat sebelum Imam Selesai Shalat Malam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka
ditulis untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi, Shahih). Jika seseorang meninggalkan terlebih dahulu sebelum imam
selesai, maka dia akan kehilangan pahala yang disebutkan dalam hadits ini. Jika
imam melaksanakan shalat tarawih ditambah shalat witir, makmum pun seharusnya
ikut menyelesaikan bersama imam. Itulah yang lebih tepat.
Demikian
sedikit pembahasan seputar shalat tarawih. Semoga Allah memberi taufik kepada
kita agar dapat ampunan di bulan Ramadhan ini dengan shalat tarawih, dan semoga
tahun depan kita bisa berjumpa lagi dengan bulan penuh ampunan ini. Amin……….