SHOLAT ISTIHAROH DAN SHOLAT HAJAT

Pertanyaan dari Sukma
Assalamu’allaikum wr wb    Pak ustadz, maaf, saya mengganggu.
Saya ingin bertanya tentang sholat Hajat.
Sebelumnya, di masa lalu saya memiliki masalah yang mengharuskan saya memilih di antara dua pilihan, antara keputusan A dan B. Jawaban yang saya dapat, saya cenderung mengambil keputusan A. Waktu itu, saya berdoa, Ya Allah jika keputusan A yang saya ambil, maka saya mohon lancarkanlah usaha saya setelah mengambil keputusan ini.
Kenyataannya, setelah itu, tak lama kemudian, banyak gangguan yang membuat tujuan saya setelah mengambil keputusan A ini susah tercapai.
Saya, jujur sempat merasa putus asa. Hingga akhirnya saya putuskan untuk melakukan sholat Hajat, meminta “keajaiban” dari Allah.
Yang ingin saya tanyakan, apakah dengan saya melakukan sholat Hajat ini, ini berarti saya memaksa Tuhan untuk mengabulkan doa saya? Apakah ini artinya saya mengingkari keputusan Tuhan setelah saya mendapat jawabannya setelah sholat Istikhoroh yang dulu?
Tapi, apakah salah saya mencoba lagi untuk mendapat “keajaiban” itu (afwan saya tidak menemukan kata lain yang tepat). Bukankah, Nabi saw pernah bersabda:”Siapa yang berwudhu dan sempurna wudhunya, kemudian shalat dua rakaat (Shalat Hajat) dan sempurna rakaatnya maka Allah berikan apa yang ia pinta cepat atau lambat” ( HR.Ahmad). Pada dasarnya, kita diminta untuk tidak berputus asa. Begitu yang saya tangkap.
Selanjutnya, saya ingin mendapat penjelasan tentang tata cara sholat Hajat ini. Kapan waktu-waktu yang tepat melaksanakan sholat Hajat?
Terima kasih banyak.
Salam,
Jawab
 Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakaatuh
Segala puji bagi Allah dan semoga shlawat dan salam tetap tercurahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan kepada semua pengikutnya sampai akhir zaman.
Sebelumnya terima kasih atas pertanyaannya dan saya tidak pernah merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini, karena “ponari” saja tidak lelah melayani ribuan pengunungnya setiap harinya. Yang salah saja tidak merasa lelah, apalagi yang berada di jalan yang benar, insya Allah. Kita tidak boleh merasa lelah untuk berdakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Prinsip : ballighu ‘anni walau ayah adalah sesuatu yang harus benar-benar dijunjung tinggi setinggi-tingginya.
Tentang shalat yang anti tanyakan, maka jawabannya adalah demikian :
Sebenarnya ketika kita dihadapkan kepada suatu pilihan yang rumit untuk dipecahkan dan harus dipilih salah satunya, kita disunnahkan untuk melaksanakan shalat istikharah. Kemudian setelah akhirnya dapat memilih salah satu dari keduanya, untuk lebih menguatkan tekad dan kemauan serta menopang keberhasilan, kita disunnahkan untuk berdo’a dengan do’a-do’a yang kita senangi, asalkan masih dalam koridor tidak menyekutukan Allah. Dan ada sebagian ulama yang menganjurkan kita –disamping berdo’a- juga melaksanakan shalat yang dikenal dengan shalat hajat. Jadi shalat untuk memilih dua hal yang rumit adalah shalat istikharah dan untuk meminta keberhasilan dalam usaha adalah shalat hajat. Di sini akan saya jelaskan masing-masing shalat ini dengan rinci.
Pertama, shalat istikharah
Tentang shalat jenis ini ada banyak hadits yang sahih yang menjelaskannya, diantaranya :

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُعَلِّمُنَا الاِسْتِخَارَةَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ يَقُولُ لَنَا « إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ وَلْيَقُلِ : اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ – يُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ الَّذِى يُرِيدُ – خَيْرٌ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَمَعَادِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى فَاقْدُرْهُ لِى وَيَسِّرْهُ لِى وَبَارِكْ لِى فِيهِ اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُهُ شَرًّا لِى مِثْلَ الأَوَّلِ فَاصْرِفْنِى عَنْهُ وَاصْرِفْهُ عَنِّى وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ ». أَوْ قَالَ « فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ »
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdulah bahwa dia berkata :”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat istikharoh sebagaimana beliau mengajari kami surat dalam Al Qur’an. Dia berkata kepada kami : “Jika salah seorang kalian gundah dalam suatu urusan, maka lakukanlah shalat dua raka’at, selain shalat fardlu, dan hendaklah dia berkata (sesedahnya) : “Ya Allah, aku meminta petunjuk untuk memilih yang terbaik dengan ilmu-Mu dan aku meminta kekuatan dengan kekuasaan-Mu dan aku meminta kepada-Mu dengan karunia-Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau adalah berkuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui. Dan Engkau adalah yang benar-benar Maha Mengetahui. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini –sambil dia sebutan urusannya tersebut- adalah baik bagiku untuk agamaku dan kehidupanku serta akhiratku, maka takdirkanlah dia untukku dan mudahkanlah aku mencapainya serta berkahilah dalam mengarunginya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa ia jelek bagiku –seperti yang pertama- (maksudnya bagi duniaku, agamaku dan kahiratku), maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya dan takdirkanlah bagiku kebaikan di manapun aku berada, kemudian buatlah aku ridla denganna”. Atau dia berkata : baik pada waktu segera atau dikemudian hari”.
(HR Bukhari, I/392, no. 1109, Abu Dawud, I/564, no. 1540, Turmudzi, II/333, no. 482, An Nsa’I, X/435, no. 3266. Turmudzi berkata : “Hadits ini Hasan shahih lagi gharib”. Al Albani berkata : “Hadits ini shahih”).
Riwayat dari Imam bukhari terhadap hadits ini cukuplah untuk dijadikan pedoman bahwa hadits inibenar-benar shahih.
Hadits ini menunjukkan tentang :
  1. legalitas shalat istikharah
  2. shalat istikharah tidak wajib hukumnya, tetapi sunnah
  3. ajaran do’a istikharah, yaitu yang dicetak tebal. Inilah ajaran terbaik Islam kepada kaum muslimin ketika dirundung kesulitan untuk memilih antara berbagai macam pilihan.
Praktek shalat inipun juga masyhur sejak masa sahabat hingga sekarang ini dan tidak ada perbedaan di kalangan kaum muslimin bahwa shalat ini disunnahkan. Contohnya : seperti yang dilakukan oleh Zaiban binti Jahsy –umummul mukminin- ketika dilamar untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah diceraikan oleh suaminya Zaid bin Haritsah. Maka dia melakukan shalat istikharah terlebih dahulu sebelum menyetujuinya.
Contoh yang paling fenomenal adalah yang dilakukan oleh Imam Bukhari dalam menulis setiap haditsnya dalam Ahahih Bukhari. Sebelum menulis satu hadits, maka beliau bersuci terlebih dahulu dan kemudian shalat istikharah dua raka’at dan berdo’a seperti hadits yang beliau sendiri riwayatkan itu. Maka jadilah hasilnya, kitab shahih yang diterima oleh segenap kaum muslimin, kecuali yang sesat.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : مَا خَابَ مَنِ اسْتَخَارَ وَلاَ نَدِمَ مَنِ اسْتَشَارَ وَلاَ عَالَ مَنِ اقْتَصَدَ
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak akan kecele orang yang shalat istikharah, tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah dan tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat (HR Thabrani dalam Al Mu’jam Al Ausath, VI/365 dan dalam Al Mu’jam Ash Shoghir, II/175).
Hadits ini adalah dla’if, tetapi karena hadits ini berbicara tentang fadlilah ibadah dan ibadah yang dijelaskan fadlilahnya jelas legalitasnya, maka hadits seperti dapat diterima.
Ini adalah semacam jaminan bagi orang yang melaksanakan istikharah, dia tidak akan menyesal di kemudian hari. Jika kemudian ada sesuatu yang mengecewakan, maka hendaklah interospeksi diri dan mencari tahu pada diri sendiri apa sebabnya atau boleh jadi jika dia memilih sesuatu yang lain, maka penyesalannya justru lebih besa. Jadi sekalipun dia kecewa, maka kekecewaannya tidak sebesar jika dia memilih seuatu yang lain yang dulu dia tinggalkan. Ini tentang shalat istikharah.

Kedua, shalat hajat
Tentang salat jenis ini dasar hadits yang digunakan diperselisikan keshahihannya, diantaranya hadits berikut ini :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى أَوْفَى قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللَّهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِى آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللَّهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ لْيَقُلْ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ سُبْحَانَ اللَّهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ لاَ تَدَعْ لِى ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِىَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa bahwa dia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang mempunyai suatu kebutuhan terhadap Allah atau terhadap seseorang manusia, maka hendaklah dia berwudlu, dan memperbaik wudlunya, kemudian hendaklah dia melakukan shalat dua raka’at, kemudian memuji Allah dan mengucapkan shalat kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian hendaklah dia berkata : “Tidak ada tuhan selain Allah yang Maha Santun lagi Maha Mulia. Maha suci Allah, Tuhan Arasy yang agung. Segala puji bagi Allah, tuhan semesta alam. Aku memohon kepada-Mu segala hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, hal-hal yang memnyebabkan ampunan-Mu dan karunia dari setiap kebaikan serta keselamatan dari setiap dosa. Janganlah Engkau tinggalkan dosaku, kecuali Engkau ampuni, dan tidak ada suatu kegundahan, kecuali Engkau lapangkan, dan tidak ada suatu kebutuhan yang Engkau ridloi kecuali Engkau menunaikannya, wahai Dzat Yang Paling merahmati”. (HR Turmudzi, II/331, no. 481; Ibnu Majah, I/441, no. 1384).
Ibnu Majah menambahkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah itu : Kemudian hendaklah dia meminta segala urusan dunia dan akhirat apapun yang dia kehendaki, karena sesungguhnya ia akan ditakdirkan untuknya”.
Hadits ini sekaligus membentulkan redaksi hadits yang anti sebutkan di dalam pertanyaan di atas. Dan saya tidak menemukan hadits itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Jika anti bisa menyebutkan redaksi arabnya, insya Alah saya akan berusaha mencarinya dan menjelaskan kedudukannya.
Dalam mengomentari hadits ini Syekh Nashiruddin Al Al Bani mengatakan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah itu adalah lemah sekali. Sedangkan Imam Turmudzi memberikan komentar terhadap hadits yang beliau sendiri riwayatkan bahwa hadits itu adalah Gharib. Dan beliau menjelaskan bahwa sanad hadits itu adalah lemah karena ada seorang rawi yang dilemahkan oleh para ahli hadits. Demikian juga yang dikatakan oleh Imam Al hafidz Al ‘Iroqi dalam mentakhrij hadits-hadits Ihya’ Ulumuddin (I/207). Beliau juga sepakat terhadap kedla’ifan hadits ini.
Ada juga hadits yang lain yang yang disebutkan oleh Imam Ghazali di dalam Kitab Ihya’nya yang menjelaskan bahwa shalat hajat itu berjumlah dua belas raka’at, dimana pada setiap raka’atnya membaca AL Fatihah, kemudia ayat kursi dan Surat Al Ikhlash. Tetapi hadits ini juga dla’if. Al Hafidz Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Manshur Ad Dailami di dalam Kitab Musnadul Firdaus dengan dua buah sanad dan masing-masing sanadnya adalah dla’if sekali.
Jadi, tentang legalitas shalat ini masih diragukan keshahihannya. Lalu solisuinya bagiamana ?
Solusinya adalah jika memiliki suatu hajat yang besar yang cukup merepotkan kita, maka bangunlah pada malam hari di sepertga terakhir, kemudian lakukanlah shalat tahajut seperti biasa dua raka’at dua raka’at salam. Kalau bisa delapan raka’at seperti yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka itulah yang terbaik. Kemudian tutuplah dengan shalat witir tiga raka’at. Lalu berdo’alah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, kalau bisa menangis, menangislah. Kalau tidak bisa menangis, belajarlah supaya menangis, insya Allah akan dikabulkan oleh Allah. Maka, do’a adalah solusi yang tiada bandingannya. Bukankah do’a itu adalah otak dan inti dari ibadah.
Atau pilihlah berdo’a pada waktu-waktu yang diduga sebagai waktu istijabah, misalnya pada waktu khatib duduk diantara dua khutbah bagi laki-laki yang melaksanakan shalat jum’at, pada waktu antara adzan dan iqomah, pada Hari Jum’at pada umumnya dan lain-lain.
Jika kita merasa do’a kita belum terkabulkan maka :
  1. jangan putus asa dan jangan tergesa-gesa. Karena ketergesa-gesaan itu justru menghalangi terkabulnya do’a
  2. jika do’a kita tidak terkabul di dunia, maka kita yakin itu adalah rekening yang akan kita panen di akhirat kelak. Bukankah Hamzah sudah meninggal sebelum melihat kemenangan Islam?. Apakah berarti usahanya dan do’anya sia-sia, tidak dan sama sekali tidak. Dan bukankah Fir’aun senantiasa jaya sela hidupnya ? Apakah itu berarti dia benar dan sukses. Sama sekali tidak. Benar dan tidaknya seseorang tidak dilihat dari permaslahan yang dia hadapi, tetapi dilihat dari benar tidaknya perbautannya dalam kaca mata syari’at Islam dan benar tidaknya dia dalam mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  3. jika kita merasa mendapatkan tantangan yang berat dalam melaksanakan seuatu yang kita pilih, setelah kita melaksanakan shalat istikharah, maka mungkin saja jika kita memilih sesutau yang lain, maka tantangannya justru lebih berat. Jadi tantangan yang kita hadapi itu adalah tantangan terkecil yang ada. Bisa jadi demikian. Husnudzdzon saja.
Jadi kesimpulanya adalah shalat istikharah jelas legalitasnya dan shalat hajat kurang jelas legalitasnya. Saya tidak merekomendasikan melaksanakan shalat hajat ini. Jika ada sesuatu yang jelas legalitasnya, yaitu do’a dan shalat malam, maka mengapa kita melakukan sesuatu yang tidak jela legalitanya ?.
Semoga jawaban ini berguna. Dan sekali lagi terima kasih atas pertanyaannya. Sangat sangat senang jika ada yang bertanya. Yang penting serius, insya Allah akan saya jawab.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakaatuh.